Di usia tersebut, saatnya perempuan dan atau lelaki bekerja sama di sebuah ikatan pernikahan. Secara mental, lelaki siap bertanggung jawab menafkahi. Pun perempuan, siap hamil, melahirkan, dan mendidik generasi penerus.
Lelaki direntang dua puluh tahun-an, ibarat darah segar mengaliri menyebar ke seluruh tubuh. Semangatnya selalu menggelora, sampai saya mendengar kalimat "tak kenal lelah".
Perempuan direntang yang sama, tenaganya genap untuk melahirkan. Memberi asupan ASI yang cukup, sehingga bayi tumbuh dengan baik.
Memasuki kepala tiga, biasanya gelora muda-nya berangsur memudar. Di umur pertengahan 30-an, badan mulai protes diajak melek semalaman. Mulai tak tahan angin malam, enggan ngeluyur tak jelas tujuan.
Saya dulu di umur tigapuluh lima, mulai punya jadwal kerokan. Setelah kerjaan rampung maunya pulang, tak ada keinginan mampir ke mana-mana. Pikiran mulai semeleh, maunya yang simple alias tidak neko-neko.
Kalau sudah menikah, umur di atas 30 biasanya anak mulai kemragat. Uang dipunya untuk sekolah anak, memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kepentingan atau keinginan sendiri, biasanya sudah dinomor sekiankan.
Saya pikir-pikir ada benarnya, kekhawatiran ibu saya dulu. Kalau menikah setelah berumur, kasian anak-anak yang jarak umur dengan ayahnya kejauhan. Saat anak ingin main dengan ayah/ibu, orangtua tak bisa membersamai.
Istilah Telat Nikah Istilah yang Menyakitkan
Kompasianer, mungkin sepakat dengan saya. Bahwa kita di mata orang lain, selalu dicari-cari kesalahan atau kelemahan. Menikah cepat dikata pernikahan dini, belum nikah setelah berumur dikata telat nikah.
Rasanya gemes, menyikapi omongan orang sekitar. Kebanyakan bisanya berkomentar nir-empati, padahal tidak punya kontribusi apapun. Tak salah kalau memasang sikap cuek, telinga tebal, tetap berusaha memasang senyum lebar.
Saya yang pernah mengalami, didera nyinyiran orang sekitar. Kini sangat-sangat paham, bagaimana dihimpit perasaan tidak nyaman. Pengalaman pahit membuat saya menjaga sikap ucap, kepada yang belum menikah di usia "matang".