Dinamika berumah tangga, tak ubahnya seperti medan peperangan kehidupan. Suami dan atau istri dituntut terus belajar, memaknai setiap masalah yang menghampiri. Sependek pengalaman dijalani, saya mengamini perihal fase membangun rumah tangga.
Misalnya pada usia satu atau dua tahun perkawinan, bisa dianalogikan masa pengenalan dua karakter berbeda. Setelah lolos masa ini, dilanjutkan penyesuaian (konon) hingga usia lima tahun pernikahan. Fase saya maksudkan tidak bersifat absolut, karena setiap pasangan memiliki kondisi yang berbeda.
Ibarat permainan atau games, semakin naik level maka tantangan semakin berat. Tetapi kalau di setiap fase bisa dilalui dengan baik, seberat apapun tantangan niscaya bisa ditaklukkan. Kuncinya suami istri bersedia bekerja sama, memupuk rasa percaya dan terbuka satu sama lain.
Secara alami sikap menghargai atau toleransi akan terbentuk, ketika masing-masing mengenal karakter lebih mendalam. Suami istri sepakat bersetia, otomatis kepercayaan dan perasaan pasangan akan terjaga.
Saya menaruh hormat dan kagum, pada pasangan yang berpisah hanya karena maut. Mereka telah teruji ketangguhan, menerima kekurangan dan (apalagi) kelebihan pasangan. Hal demikian memang tidaklah mudah, tetapi banyak pasangan sudah membuktikan dan berhasil.
Saya belajar kepada  ayah dan ibu saya, mereka bersama mengarungi suka dan duka. Ketika ayah menghembuskan nafas terakhir, ibu saya duduk di samping pembaringan almarhum. Tetapi di satu sisi tetap menghormati, apabila ada yang berseberangan pendapat.
Rekat atau renggang hubungan suami istri, bisa disebabkan oleh banyak faktor. Satu diantaranya adalah faktor ekonomi, yang dijadikan pangkal permasalahan. Namanya roda kehidupan  terus berputar,  wajar apabila sesekali ada di bawah kemudian naik ke atas.
Kondisi naik dan turun tersebut, sangat bisa dijadikan sarana melatih kesabaran. Bisa menjadi lahan subur, untuk membentuk karakter tangguh dan memupuk kedewasaan. Bukankah pada kondisi terpuruk, justru menjadi moment suami dan istri membuktikan tentang kesetiaan.
Sejatinya Kepala Keluarga adalah (Sekadar) Perantara Rezeki
Saya pribadi masih miskin ilmu, tak henti belajar mengelola management dalam rumah tangga. Saat kondisi sempit datang tak jarang dihampiri pikiran negatif, mencari biang kesalahan. Dan hal ini benar-benar menjadi tantangan, agar saya tetap menjaga kewarasan.
Di masa pandemi ketika pekerjaan tak sepadat sebelumnya, otomatis berpengaruh pada pemasukan. Â Tetapi saya meyakini, bahwa setiap keadaan bisa dijadikan pijakan untuk kekokohan keluarga.