Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadilah Anak yang Peka Kode Orangtua

9 Januari 2021   15:01 Diperbarui: 9 Januari 2021   15:58 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyaris tigapuluh tahun merantau, saya merasakan kasih sayang ibu  (dan ayah semasa hidup) tak pernah putus. Mereka kerap menelpon menanyakan kabar, padahal (saya tahu) terselip keinginan bisa bersua langsung dengan buah hatinya. 

"Kalau kangen kamu saja yang ke Tangsel. Anakmu itu sekarang kerja, kalau disuruh pulang nanti dimarahi bossnya" ujar (alm) ayah kepada ibu suatu saat.

Ibu semasa masih kuat fisiknya, selepas ayah tiada tak enggan keliling beberapa kota secara marathon. Minggu ini di Surabaya, seminggu berikutnya di rumah. Selang dua minggu ke rumah saya, lanjut ke Sukabumi. Saking seringnya tak di rumah, para tetangga justru bertanya kalau ibu terlihat kerap di rumah.

Ayah dan ibu benar-benar tak mau merepoti anak-anak, meski sebenarnya (bisa jadi) dalam keadaan kurang. Saya ingat ketika ayah diopname, kemudian saya hendak mengirim biaya berobat. Ibu menolak maksud tersebut, dengan mengatakan bahwa tabungan masih ada. Padahal keadaan sebenarnya berbeda, hal ini saya ketahui dari cerita kakak ipar yang saban hari menunggui. 

Sejak saat itu kalau hendak mengirim uang, saya tidak pernah bertanya lebih dahulu. Karena memang punya niat mengirimi orangtua, mereka sedang punya atau tidak punya (uang) itu soal lain. Maka saya dan istri akhirnya sepakat, punya post untuk jatah bulanan ibu.

"Ibuk, uang bulanan sampun dikirim" saya menyampaikan hal ini, biasanya di pekan pertama saban bulan.  

"Kamu itu lo, kok senengane maksa" balas ibu 

Tetapi tetap saja kiriman tak seberapa itu disyukuri, terbukti dari untaian doa bertubi disampaikan. Semoga anaknya dikarunia rejeki berlimpah, kemudian menyebut nama cucunya (anak saya) agar menjadi anak pintar dan soleh solehah. Doa seperti ini adalah mahal, karena diucapkan oleh perempuan yang mananam jasa tak terhingga. Saya ingat sebuah hadis, "Doa ibu untuk anaknya, seperti doa nabi untuk umatnya"

----

Saya dan ibu punya jadwal rutin telepon, sepekan bisa dua kali tapi kalau sedang repot sekali sepekan. Dan sejak pandemi melanda, sudah satu tahun lebih kami tak bersua secara fisik. Lebaran yang biasanya mudik, terpaksa gagal (padahal sudah beli tiket) karena angka covid melejit.

"Aku bisa telpon dengar suaramu, terus tahu kabarmu sehat-sehat wis seneng,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun