Serupiah dua rupiah rasanya begitu berharga, saya kumpulkan dan tidak diotak-atik sampai sejumlah iuran wajib dipenuhi. Â Meski bersusah payah, saya berusaha menikmati proses kerja keras dijalani.
Jangan ditanya, bagaimana saya merawat barang kesayangan. Sesuai jadwal dibawa ke bengkel, untuk service dan ganti oli. Kalau kotor segera dibawa ke tempat cuci motor, setiap pagi dilap dengan kain basah.
Agar penampilan semakin keren, saya pasang aksesoris yang memperindah tampilan motor. Misalnya di bagian jog diberi pelapis, plat diberi bingkai dan seterusnya.
Malam selesai shift kerja, menjadi detik-detik yang sangat berat dialami. Ya Alloh, saya menangis dalam diam. Saya merasakan kesedihan yang mendalam, kesedihan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Saya merasakan, betapa setiap tetes keringat yang sangat berharga itu, sontak menguap tak berbekas. Saya sampai bisa mendengar detak nadi sendiri, bisa merasakan setiap tarikan nafas dengan sangat, dan keadaan sekeliling seperti menjepit saya di tengah-tengah.
Kepemilikan yang sangat berharga satu-satunya, telah dirampas dengan semena-mena dan membuat saya benar-benar limbung.
Dalam kepanikan yang sangat, aneka pikiran berkelebat di kepala (termasuk kawatir stres). Bagaimana bayar cicilan selanjutnya, bagaimana saya ke kantor lanjut ke kampus kemudian ke kost.
Seiring berjalannya waktu, dengan dada masih sesak dan berusaha sabar, satu persatu keruwetan bisa dilewati. Satu tahun setelah kejadian duka mendalam itu, saya bisa membeli motor buntut yang jauh dari kata ideal.
Sesedih apapun dialami, toh hidup musti terus berjalan. Dan saya tumbuh perspektif baru, bahwa apapun kejadian dilalui tidak menghilangkan tugas utama manusia yaitu ikhtiar.