Saya pernah mendengar pepatah, (lebih kurang) "Sekali layar terbentang, pantang surut melangkah ke belakang". Pepatah ini, biasanya ditujukan kepada perantau, agar gentar dengan ujian yang dihadapi.
Pun perkawinan, tak ubahnya seperti membentangkan layar siap dengan lika liku dihadapi. Selepas baju penganten ditanggalkan, maka kehidupan nyata telah terpampang di depan mata.
Suami dihadapkan pada tugas utama pencarian nafkah, dengan segala pernak pernik menyertai. Sementara istri siap sedia mendukung keputusan suami, apalagi yang memilih sebagai working mom, dituntut pintar membagi waktu tenaga dan pikiran.
Dan selalu menjadi masalah urgent, adalah tentang tempat tinggal. Kebanyakan pasangan penganten baru, relatif jarang sudah siap rumah sebelum menikah (termasuk saya dulu).
Papan atau rumah adalah kebutuhan primer, selain pangan sandang kemudian menyusul kesehatan, pendidikan dan seterusnya. Tiga kebutuhan pokok setelah menikah, menjadi alasan kepala keluarga peras keringat.
Menyoal tempat tinggal.. Setiap pasangan penganten baru, mempunyai jalan untuk ditempuh sendiri-sendiri. Ada yang memilih tinggal di rumah orangtua, dengan berbagai pertimbangan dan alasan.Â
Misalnya karena salah satu dari mempelai adalah anak tunggal, maka tidak diperbolehkan hengkang dari rumah. Seperti teman saya , istrinya adalah anak semata wayang.Â
Rumah sang mertua adalah rumah model lama dengan tanah cukup lapang, otomatis ibu mertua melarang anaknya pergi. Toh nantinya, semua harta milik orangtua pasti diwariskan.
Dua mempelai musti berkompromi, berapa lama akan tinggal dan merencanakan mandiri. Repotnya kalau keenakan tinggal di rumah mertua, akhirnya kebablasan dan enggan pindah.
Lain lagi kalau suami istri perantau, mau tidak mau musti mengupayakan tempat tinggal sendiri. Satu diantaranya dengan ngekost, atau menyewa rumah tinggal (alias ngontrak).