Beberapa hari belakangan di timeline medsos saya, bertebaran status tentang bagaimana galau dan deg-degan-nya para orangtua, yang tahun ini berjibaku mendaftarkan anak-anaknya ke SMP dan atau SMU. Menyoal pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) 2019, rupanya membuat (beberapa orangtua) terkendala pada beberapa hal teknis di lapangan.
Si anak yang nilainya bagus dan berprestasi, ternyata tidak diterima di sekolah yang dituju (baca favorit), lantaran jarak antara rumah ke sekolah tidak memenuhi syarat zonasi. Ada yang mengusulkan, pembagian prosentase kuota penerimaan murid baru, sekian persen mengacu prestasi, sekian zonasi dan seterusnya.
Sebagai ayah, saya menaruh empati sangat tinggi, kepada para orangtua yang berikhtiar lahir batin buat buah hati tercinta. Pengorbanan tulus ayah dan ibu, niscaya akan menjadi benih subur di sanubari anak-anak, menjadi alasan bakti mereka kelak (meskipun saya yakin, kita orangtua tidak focus pada balas budi).
Melalui status di medsos, saya bisa merasakan, bagaimana semangat para orangtua, yang selalu mengupayakan terbaik demi masa depan anak-anak. Senang dan sedih ditanggung anak-anak, pasti akan dirasakan lebih oleh ayah dan ibunya.
Tak urung saya turut mendoakan, semoga apa yang diharapkan dapat tercapai, dilancarkan dan dimudahkan segala usaha, sehingga anak-anak diterima di sekolah yang dituju---Amin,
Subhanalloh, mendadak saya sangat kagum atas bukti kasih dari Sang Maha Pengasih, yang telah menghadirkan tekad kuat di kalbu setiap orangtua. Sehingga mereka rela dan direlakan, dengan sepenuh kesadaran bersedia mengorbankan apa yang dimiliki untuk buah cinta dikasihi.
Jujur, saya bukan orang yang berkompeten untuk membahas, bagaimana rumit dan silang sengkarut sistem zonasi. Karena saya belum berpengalaman, atau tepatnya tidak mengalami sendiri repotnya mendaftarkan anak ke sekolah berbasis zonasi. (sulung saya, sekarang setara kelas dua SMP).
Masih terekam di benak, sekira bulan Maret setahun yang lalu, saya juga merasakan, bagaimana deg-deg-annya menanti detik-detik pengumuman hasil test beasiswa di sebuah Pondok Pesantren. Kala itu sulung saya sedang bersaing dengan ratusan calon santri lain, yang berasal dari berbagai kota (seingat saya, dari Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, NTB)
Tak hentinya saya dan istri merapal doa, di setiap waktu dan kesempatan, baik saat berkegiatan di rumah, di perjalanan atau di mana saja kami mengingat anak, maka disitu hembusan lirih doa kami lantunkan dalam hati.Â