Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Liwetan, Cara Ampuh Merawat Kebersamanan dalam Keberagaman

30 Mei 2019   14:20 Diperbarui: 30 Mei 2019   14:22 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Riuh pilpres 2019 sampai hari ini belum kelar, kini sedang memasuki babak baru, tetap berpotensi menyulut dua kubu saling sindiri dan nyinyir di medsos. Sungguh disayangkan, mengingat kita tengah berada di bulan suci Ramadan.

Bukankah bulan Ramadan, seharusnya menjadi moment menahan hawa nafsu. Bukan hanya nafsu menahan makan dan minum di siang hari saja, tetapi menahan diri berbicara seenaknya, menahan berkomentar dan menulis status provokatif di medsos dan lain sebagainya.

Perbedaan pilihan Capres Cawapres, (saya yakin) pasti terjadi mulai dari level keluarga. Dalam satu keluarga, sangat mungkin memiliki pilihan Capres/ Cawapres yang berbeda, hal itu sangat wajar alias biasa-biasa saja. Ada suami memilih Capres A, kemudian istri pilih B, kakak ipar pilih A, mertua pilih B, Kakak kandung, keponakan, saudara sepupu, tante/om, bude/pakde semua punya pilihan sendiri-sendiri -- namanya juga demokrasi.

Bagi saya tidak masalah, berbeda pilihan di pilpres biarlah berhenti di pilpres saja, jangan sampai terbawa dan mempengaruhi hubungan persaudaraan.   Makanya saya menghindari, membahas atau berdiskusi bertema politik di WA group keluarga, hal ini saya lakukan agar tidak terjadi debat yang berakibat pada renggangnya persaudaraan.

Meski kadang tidak bisa dipungkiri, ada saudara yang (sekali dua kali) share meme atau kabar seputar Pilpres (baik Hoax atau Fakta) saya memilih diam dan tidak menanggapi.

Semua pasti sepakat, bahwa nilai persaudaraan lebih mahal, dibanding sekedar mengumbar kalimat "Curang" "Berpihak dan Berat Sebelah" "Tidak Adil" serta kalimat tidak elok lainnya, yang tidak ada untungnya buat kita sendiri.

------

ngumpul mau bukber-dokpri
ngumpul mau bukber-dokpri
Kompasianer, yang suka liwetan, ngacung !! itu, makan bareng, kemudian makanannya ditata di atas daun pisang, nasi dan semua menu komplit, disantap sambil ngariung (bahasa Sunda dari ngumpul) berjajar dari ujung ke ujung.

Siapa sangka, ternyata tradisi liwetan sudah dimulai ketika pengaruh Islam masuk ke pulau Jawa. Melansir tribunnews, Prapto Yuono, Dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia, mengatakan bahwa kegiatan liwetan ini lebih spesifik dilakukan hampir di semua pesantren pada masa lalu.

Awal tahun 90-an, saya pernah mondok (sebentar) di pelosok pesisir Jawa Timur. Saban pagi mencari kayu bakar untuk masak, santri masak satu group (biasanya 4-5 orang). Masakan seadanya, biasanya nasi putih dan sayur (tanpa lauk pauk) hasil olahan kami dituang di atas tampah/ loyang dan kami makan bersama (makan tanpa sendok).

Ajiabnya, apapun makanan yang kami olah (biasanya dari hari ke hari itu-itu saja) di dapur pesantren, rasanya selalu nikmat dan mengeyangkan, mengingat kegiatan ini membuat kangen ini tumbuh subur di sanubari.

Saya baru menyadari, ternyata kebiasaan di Pondok kala itu namanya liwetan, dan tradisi liwetan kini kembali ngetren tidak hanya di Pondok tapi di jamuan kebersamaan.

Liwetan, Cara Ampuh Merawat Kebersamaan dalam Keberagaman

Pengumuman !! Hari Sabtu minggu ini, mohon semua anggota keluarga, bisa kumpul di rumah yangti jam 16.00, untuk acara buka puasa bersama. Tanpa terasa, Ramadan masuk minggu ketiga, admin di group WA keluarga memposting pengumuman acara bukber.

Istri sebagai penggerak WA group keluarga, terbilang aktif ber-inisiatif mengadakan kegiatan untuk mempertemukan enam bersaudara. Kebetulan kami berenam tinggal di seputaran Jabodetabek (satu di Cilegon), sehingga tidak terlalu kesulitan berkumpul.

Dan konsep bukber sore itu adalah liwetan, agar tidak perlu repot masak sendiri, kami memesan makanan dari kenalan dengan dana dari patungan. Liwetan juga terbilang praktis, karena tidak perlu cuci piring setelah acara selesai.

liwetan-dokpri
liwetan-dokpri
Kunci dari setiap acara ketemuan seperti ini, memang harus ada satu atau dua orang yang menyediakan diri untuk direpotkan. Bagaimanapun, musti ada orang yang bersedia memikirkan bagaimana menunya, di mana pesan makanan, kapan acara dilangsungkan dan di mana lokasinya.

Dan, akhirnya waktu bukber keluarga yang dinanti tiba juga. Satu persatu saudara datang, kakak yang tinggal paling jauh datang lebih awal. Menyusul satu persatu berdatangan, ada satu kakak yang datang persis ketika adzan maghrib berkumandang.

Sepanjang kegiatan bukber berlangsung, tidak ada satupun tema obrolan yang menyerempet politik, padahal ada satu kakak (suami istri) nyaleg pada pemilu tahun ini. Kalaupun di televisi (tisak sengaja) ada berita tentang pilpres, kami lebih memilih tidak membahas, satu diantara kami segera membuka pembicaraan lain.

sebelum bukber ada tausiyah-dokpri
sebelum bukber ada tausiyah-dokpri
Obrolan seputar sekolah anak-anak, program diet yang saya jalani, kebiasaan sahur atau ngabuburit di setiap keluarga, rupanya menjadi tema yang lebih menarik. Sembari menunggu datangnya bedug maghrib, salah satu anggota keluarga yang kebetulan mondok didapuk untuk memberikan Kultum (kuliah tujuh menit).

Saya beruntung, punya keluarga yang saling menghargai satu dengan yang lain, kondisi ini memang harus diciptakan. Bahwa keberagaman pilihan adalah keniscayaan, kita yang musti menjadikan keberagaman sebagai keadaan yang wajar.

Jangan sampai perbedaan yang ada, justru menjadi muasal perpecahan, karena kita hidup tidak hari ini saja. Sangat mungkin, suatu saat kita membutuhkan bantuan dari orang yang berbeda (pilihan Capres) dengan kita.

Selamat berpuasa, tetap semangat sampai hari terakhir ya, salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun