Sepekan lalu, anak lanang (yang mondok) ijin pulang ke rumah. Karena sedang kurang enak badan, tidak bisa konsentrasi belajar. Si ibu membawa periksa ke klinik langganan, kebetulan dokternya lumayan kenal, kepada kami terbilang 'over' menasehati ini dan itu.
Karena sudah hafal kebiasaan, 'cerewetnya' pak dokter tidak pernah dimasukkan hati, toh selama ini diagnosanya terbukti manjur. Si kakak ada masalah asam lambung, dulu ibunya pernah terkena dan saya bisa menebak penyebab serta obat ditebus di apotek.
Selama anak di rumah, (namanya juga orangtua) perhatian kami tercurahkan, memasakan makanan kesukaan dan tentu saja banyak ngobrol. Berdasarkan pengalaman (pernah dialami ibunya), asam lambung disebabkan oleh makan (biasanya terlalu pedas) atau bisa karena stres.
Kalau makanan, kami yakin bukan itu penyebabnya, terhitung jalan delapan bulan si kakak mondok dan tidak ada masalah dari awal dengan asupan.
Si ayah berasumsi, ada masalah dengan teman santri. Hal ini ditangkap, setelah mengajak ngobrol panjang.
"Oke, ternyata ini" Saya manggut-manggut.
Anak dan Garis Hidup Dihadapi
Sedekat apapun dengan orangtuanya, anak tetaplah individu yang berkembang, secara alami pada saatnya akan menjauh mencari kehidupan sendiri. Cepat atau lambat, orangtua harus merelakan diri melepaskan genggaman tangan (meski tidak sepenuhnya lepas) demi kebaikan anak itu sendiri.
Pengalaman melepas anak pergi, saya seperti menyelami perasaan ibu dan (alm) ayah, ketika mengijinkan bungsunya ini merantau.Â
Antara tega dan tidak tega, kala itu saya belum pernah pergi sendirian ke kota besar, tetapi tetap harus pergi karena tidak ada pilihan lain.
Malam pertama kamar anak lanang tak berpenghuni, rasanya ada yang kosong di hati ini, terbersit perasaan menahan sedih. Akhirnya berdamai dengan keadaan, menjadi cara manusia untuk beradaptasi, hingga sampai pada tahap penerimaan dan ujungnya iklhas.