Mohon tunggu...
Agung Ing Raya
Agung Ing Raya Mohon Tunggu... profesional -

Buruh galangan di tanjung uncang, Batam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Negeri Morgana.02: Reruntuhan Kisah

23 Februari 2014   07:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Reruntuhan ituh telah kumal sedemikian rupa, selain kena hujan dan sinar matahari disetiap pergantian musim, udara lembab juga menelisik perlahan kedalam sum-sum terdalam sekalipun dari setiap dindingnya yang masih tersisa. Diam dalam kesunyian malam dan siangnya ada beberapa gembala ataupun pengelana menyempatkan diri sesaat untuk bersandar pada dinding kumalnya sebelum melanjutkan perjalanan.

Reruntuhan ituh masih tegak menghala angkasa, walaupun bagian bawahnya sudah dikuasai oleh lumut yang bercampur lumpur. Jorok dan nista disetiap sudut tidaklah mampu dibersihkan oleh sujud yang tidak beraturan. Sementara isi dalamnya pun dah babak belur sedemikian rupa, berserak kemana-mana dan berantakan tak tentu arah. Tersisa yang masih utuh tinggallah perapian yang masih ada sama tungku nya. Ketika dinyalakan, itulah satu-satunya penanda bahwa masih ada kehidupan didalamnya. Satu-satunya tempat yang dapat menghangatkan malam dan memberikan sepercik cahaya.

Dibeberapa kesempatan, ketika nyala perapian begitu membara hingga asapnya membumbung menjura ke langit gulita. Desau angin malam membawanya mengirimkan pesan kerinduan pada keharibaan ranah kelahiran. Melantunkan kenangan masa lalu dalam gurindam dan pantun, lirih dalam kesendirian dan kehampaan. Miris rasanya, ketika kemudian pesan itu belumlah tersampaikan sementara asapnya telah sirna oleh kabut embun pagi. Realitas mulai terbit seiring mentari yang beranjak bangun menunaikan tugas dari Sang Pencipta. Dan tak adah yang tersisa, tak ada asapnya dan embun pagi pun menghilang dilusur oleh amarah siang yang begitu padat dan tak berperasaan. Semua hilang dan terlupakan. Gelora perapian yang terbias selama ini tak menghasilkan apa-apa kecuali sebagai saksi betapa melaratnya reruntuhan ituh, yang semakin kumal tak berdaya.

Ketika kemarau datang menjarah, reruntuhan itu tampak macam pohon kurus kerontang di tengah gurun sahara, kering dan dekil dari setiap ranting yang sudah tak berdaun, macam tak ada yang bisa diharap darinya. Akan halnya dengan penghujan yang datang terlambat, becek dan dipenuhi genangan air yang berjelaga dimana-mana membuat udara berbau tanah sampai mencekik tenggorokan. Bahkan pelangi pun tak niat menebarkan keindahannya dalam reruntuhan ituh, gemerisik ilalang sekitarnya tertawa riuh mengejek dan sang waktu merutuk setiap kali lewat, “dasar tak berguna”, katanya.

Jadi, disebuah sore menjelang magrib, nampaklah seorang janda muda dari pedukuhan sebelah berjalan terburu-buru, kebelet nampaknya. Dihampirinya seorang gembel tua ditepi jalan yang sudah menunggu dari tadi. Berdua mereka perlahan masuk ke reruntuhan ituh, satu persatu mereka melepas hasrat yang melekat pada diri mereka, bergumul dan akhirnya dua aliran air yang berbeda menyatu.

Reruntuhan ituh menjadi saksi bisu…sialan…apa tak ada lagi kejadian yang lain selain tontonan gratis ini ya Tuhan…

Euphorbia, 16 sept 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun