Gegar budaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan culture shock merupakan keadaan dimana seseorang merasa tertekan atau terkejut ketika berhadapan dengan budaya baru. Peristiwa ini sangat umum terjadi ketika seseorang yang berasal dari budaya tertentu berhadapan dengan budaya lain. Culture shock dapat terjadi dimana pun seperti di lingkungan sekolah baru, di lingkungan perusahaan baru atau dalam konteks yang lebih luas ketika berada di negara yang baru saja disinggahi. Contohnya adalah ketika pelajar dari Indonesia menempuh pendidikan di negara lain. Kebanyakan dari mereka akan mengalami gegar budaya karena adanya perbedaan nilai budaya yang sudah mereka anut sejak kecil di Indonesia dengan budaya tempat mereka tinggal. Hal tersebut juga diakui dan disetujui oleh Jerome Polin sebagai salah satu influencer terkenal di dunia pendidikan.Â
Jerome Polin terkenal sebagai seorang YouTuber pada kanal YouTube miliknya, Nihongo Mantappu. Pada video unggahannya, Jerome biasanya membagikan pengalamannya sebagai seorang mahasiswa asal Indonesia yang menempuh pendidikan di Jepang. Tidak hanya konten mengenai cara belajar bahasa, matematika, dan kesehariannya di Jepang, Jerome juga membagikan kisahnya yang mengalami culture shock ketika awal tinggal di Jepang.
Dalam unggahan videonya yang berjudul "Realita Kehidupan Awal Datang Vs 5 Tahun di Jepang! Tetangga Galak? Culture Shock?!" Jerome membagikan banyak kisah ketika ia memasuki 2 tahun pertama tinggal di Jepang. Dalam video yang mencapai 17 ribu likes tersebut, Jerome menceritakan banyaknya perbedaan budaya Jepang dengan Indonesia dalam berbagai aspek mulai dari kebersihan, makanan, dan sifat orang-orang Jepang. Salah satu culture shock yang ia alami adalah ketika ia harus mandi di pemandian umum (onsen) dengan tidak mengenakan sehelai benang pun. Ia merasa cukup terkejut dan tertekan dengan hal tersebut meskipun pemandian umum tersebut dipisahkan berdasarkan gender. Ia juga menambahkan bahwa ia juga terkejut dan kaget ketika berinteraksi dengan salah satu pengunjung kolam renang dimana pengunjung tersebut berganti pakaian di depan matanya. Interaksi tersebut merupakan salah satu interaksi dalam komunikasi non verbal dengan tidak mempertukarkan pesan secara lisan.
Jerome menyadari bahwa adanya perbedaan budaya antara Indonesia dengan Jepang sehingga terdapat perbedaan makna telanjang dalam interaksi yang ia lakukan dengan salah satu pengunjung di tempat pemandian umum. Hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah terjadi ketika adanya interaksi antar budaya melalui pesan-pesan yang dipertukarkan.Â
Peran Komunikasi Antar Budaya dan Kaitannya dengan Semiotika Barthes
Harold D. Lasswell menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan antara komunikator dan komunikan dengan media tertentu dan akan menghasilkan suatu dampak. Lebih jauh Barthes menyatakan bahwa suatu proses komunikasi dapat dikatakan efektif apabila terdapat persamaan makna antara komunikator dan komunikan. Namun untuk menghasilkan suatu persamaan makna akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang komunikator dan komunikan dalam memandang suatu pesan komunikasi. Salah satu latar belakang yang memengaruhi adalah latar belakang budaya.Â
Budaya sendiri memiliki arti yang sangat luas sehingga cukup sulit untuk mendefinisikan budaya. Mulyana dan Rakhmat (2005) mendefinisikan budaya sebagai hal yang kompleks dimana terdiri dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai suatu anggota masyarakat tertentu. Adanya komunikasi antar budaya adalah ketika terdapat interaksi antara komunikator dan komunikan yang berasal dari etnis atau budaya yang berbeda.
Ketika ingin mempelajari proses pemaknaan pesan yang dipertukarkan oleh komunikator dan komunikan dalam komunikasi antar budaya, kajian semiotika dapat dijadikan sebagai landasan dari pemahaman makna suatu pesan yang bergantung pada konteks tertentu. Studi mengenai semiotika atau semiologi menawarkan pendekatan yang berguna untuk menelaah bagaimana tanda yang berbeda mengkomunikasikan suatu makna. Biasanya ilmu semiotika digunakan untuk menganalisa bahasa atau kejadian, namun ilmu ini juga sangat berguna untuk menganalisis kajian non verbal dan ruang budaya. Fondasi ilmu semiotika diperkenalkan oleh Roland Barthes pada tahun 1980. Barthes menjelaskan sistem semiotikanya bahwa semiosis adalah proses produksi makna dimana hal tersebut dibangun oleh interpretasi dari tanda (sign). Tanda atau sign sendiri dapat didefinisikan sebagai kombinasi dari penanda (signifier) dan petanda (signified) ( Martin dan Nakayama, 2022)
Budaya Telanjang di Pemandian Umum (Onsen) Jepang pada Interaksi Jerome Polin
Pengalaman yang diceritakan oleh Jerome Polin merupakan salah satu contoh proses komunikasi antar budaya dimana ia yang berasal dari Indonesia berinteraksi dengan salah satu warga Jepang yang memiliki budaya berbeda. Dalam proses komunikasi tersebut terjadi perbedaan makna antara warga Jepang sebagai seorang komunikator dengan Jerome Polin sebagai komunikan sehingga Jerome Polin merasakan adanya tekanan (gegar budaya). Dalam interaksi tersebut secara terang-terangan salah satu pengunjung onsen melepaskan seluruh pakaiannya di depan Jerome Polin karena merasa hal tersebut merupakan sesuatu yang memang sudah seharusnya terjadi. Namun Jerome memaknai hal tersebut sebagai sesuatu yang tabu dan merasa tindakan tersebut tidak sopan. Meskipun keduanya tidak berbicara satu sama lain, proses tersebut tetap termasuk dalam proses komunikasi antar budaya karena pesan yang dipertukarkan merupakan pesan non verbal.
Tindakan telanjag yang dilakukan oleh salah satu pengunjung merupakan termasuk dalam tanda (sign) yang dipertukarkan. Suatu tanda merupakan kombinasi dari penanda dan petanda. Dalam ketegangan yang terjadi terdapat perbedaan petanda sebagai rujukan dari penanda yang dipertukarkan (telanjang). Rujukan yang berbeda antara salah satu pengunjung dengan Jerome didasarkan adanya budaya yang berbeda. Lantas apa makna dari telanjang itu sendiri bagi Indonesia dan Jepang?
Makna Telanjang sebagai Ritual Budaya Onsen
Jika melihat dari konteks terjadinya pertukaran pesan non verbal (telanjang) yang dialami oleh Jerome Polin. Interaksi tersebut terjadi saat dia berada di tempat pemandian umum (onsen) sehingga pemaknaan dari pesan non verbal tersebut berada pada konteks tempat pemandian umum atau onsen. Wiyatasari (2021) menjelaskan bahwa onsen merupakan salah satu budaya masyarakat Jepang dimana mereka sejak kecil sudah sangat terbiasa melihat onsen bahkan hidup mereka tidak bisa dipisahkan dari onsen. Budaya tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan Shinto yang dianut oleh masyarakat Jepang. Wiyatasari (2021) secara lebih jauh menjelaskan bahwa budaya mandi merupakan salah budaya yang diajarkan oleh aliran Shinto sebagai hal yang dipercayai untuk membersihkan jiwa dan raga. Bahkan budaya mandi yang diterapkan dalam onsen dilihat sebagai sesuatu yang sangat spiritual dan sarana untuk menjalin komunikasi dalam hubungan sosial. Wiyatasari juga menjelaskan bahwa di Jepang terdapat istilah "Hadaka no  Tsukiai" dimana telanjang dianggap sebagai suatu proses komunikasi  atau cara orang berbicara satu sama lain di onsen, selain sebagai ritual dalam proses mandi itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa rujukan dari simbol telanjang bagi pengunjung onsen dilihat bukan sebagai hal seksual, melainkan dimaknai sebagai proses komunikasi yang lumrah dilakukan oleh manusia.
Makna Telanjang di Indonesia
Setelah memahami pemaknaan simbol telanjang saat di pemandian umum (onsen) bagi masyarakat Jepang. Selanjutnya perlu dipahami pula makna petanda atau rujukan dari simbol telanjang bagi Jerome Polin yang berasal dari Indonesia. Jika melihat latar belakang budaya Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama islam, tentu telanjang di pemandian umum merupakan hal yang dianggap tabu dan seharusnya tidak dilakukan. Melansir dari laman https://kesan.id/ dalam agama islam telanjang atau memperlihatkan aurat adalah hal yang diharamkan (dilarang) bahkan jika dilakukan oleh orang yang memiliki gender sama. Hal ini diperkuat oleh HR. Muslim no. 338 yang berbunyi ''Tidak boleh laki-laki melihat pada aurat laki-laki lain, tidak boleh pula perempuan melihat pada aurat perempuan lain, dan tidak boleh laki-laki mendatangi laki-laki lain dalam satu pakaian (tidur dalam satu pakaian atau selimut dengan saling bersentuhan kulit), begitu juga dengan perempuan". Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa rujukan dari simbol telanjang bagi Jerome Polin yang membawa nilai-nilai budaya Indonesia adalah sebagai hal yang dilarang dan tidak diperbolehkan.
Lantas, wajar gak sih culture shock terjadi?
Culture shock  yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan pemaknaan antara Jerome Polin dengan pengunjung Jepang dimana saat itu Jerome Polin tidak mengartikan telanjang sebagai salah satu budaya onsen. Telanjang sebagai suatu simbol penanda maknanya akan sangat bergantung dari petanda. Dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan kajian semiotika penanda dilihat bukan sebagai suatu hal yang bersifat individual melainkan bagaimana penanda tersebut dikombinasikan dan dikonfigurasi untuk dapat menetapkan keseluruhan sistem semiotika dalam menciptakan makna. Melalui kajian ini dapat dipahami apabila kita mencoba memaknai suatu pesan non verbal yang dipertukarkan melalui kajian semiotika akan sangat membantu memecahkan kode-kode dari kerangka budaya lain. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Martin dan Nakayama (2022) bahwa sistem semiotika memang akan sangat bergantung pada banyaknya kode yang diambil dari beragam konteks dan tempat seperti institusi ekonomi, sejarah, politik, agama, dan sebagainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI