Dalam dunia pendidikan, keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan kognitif semata. Faktor psikologis dan sosial juga sangat berpengaruh. Salah satu faktor penting adalah kualitas pertemanan. Pertemanan yang sehat mampu menumbuhkan rasa percaya diri, memotivasi, serta menciptakan iklim belajar yang positif. Sebaliknya, pertemanan toxic justru menjadi penghalang serius bagi perkembangan akademik seorang siswa maupun mahasiswa.
Psikologi pendidikan menekankan bahwa proses belajar tidak pernah terlepas dari konteks sosial. Vygotsky, melalui teorinya Zone of Proximal Development (ZPD), menegaskan bahwa interaksi dengan orang lain, termasuk teman sebaya, sangat menentukan perkembangan kemampuan belajar. Jika lingkungan pertemanan memberi dukungan positif, siswa akan terdorong untuk mencapai potensi terbaiknya. Namun, jika hubungan dipenuhi dengan ejekan, tekanan, atau manipulasi, maka dukungan yang seharusnya membantu justru berubah menjadi hambatan.
Contoh nyata dapat dilihat pada seorang mahasiswa yang semula berprestasi, tetapi lambat laun motivasinya menurun karena berada dalam kelompok pertemanan yang sering meremehkan kesungguhannya belajar. Ia mulai meragukan kemampuan dirinya sendiri. Menurut teori self-concept dalam psikologi pendidikan, pandangan negatif terhadap diri akan berdampak langsung pada prestasi akademik. Rasa percaya diri yang runtuh membuat mahasiswa tersebut semakin sulit untuk berkonsentrasi, hingga akhirnya prestasinya merosot.
Selain itu, teori social learning dari Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku seseorang banyak dipengaruhi oleh pengamatan dan peniruan terhadap lingkungan sosialnya. Jika seorang siswa terbiasa berada dalam kelompok teman yang sering menunda tugas, bolos, atau mengabaikan tanggung jawab, ia berisiko meniru perilaku tersebut dan menjadikannya kebiasaan. Hal ini menunjukkan bahwa pertemanan toxic dapat mengarahkan individu pada pola belajar yang tidak produktif.
Dari sudut pandang psikologi pendidikan, menghadapi pertemanan toxic membutuhkan kesadaran diri dan kemampuan regulasi emosi. Individu perlu mengembangkan keterampilan sosial untuk berani menolak tekanan negatif, serta memilih lingkungan yang lebih sehat. Guru, dosen, dan konselor pendidikan juga memiliki peran penting dalam memberikan bimbingan, agar siswa maupun mahasiswa mampu membangun relasi sosial yang mendukung perkembangan akademik mereka.
Pada akhirnya, pertemanan tidak hanya berhubungan dengan kehidupan sosial, tetapi juga menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikan. Pertemanan toxic adalah ancaman tersembunyi yang dapat merusak motivasi, konsep diri, hingga prestasi belajar. Sebaliknya, pertemanan yang sehat justru menjadi energi positif yang mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan akademik sekaligus perkembangan diri secara optimal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI