Setiap tahun, ketika Februari tiba hal itu akan memantik kembali perdebatan lama yang tak pernah benar-benar usai, Valentine. Perayaan "Hari Kasih Sayang" ini terus menjadi sorotan publik, dengan dua kutub utama yang saling berhadapan.
Mereka yang mendukung menganggapnya sebagai hari kasih sayang universal, sementara yang menolak cenderung mengedepankan alasan budaya, moral, hingga keyakinan agama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Valentine telah mengakar dalam budaya populer, terutama di kalangan anak-anak muda, serta didukung oleh industri yang mengkapitalisasi momen ini untuk kepentingan komersial mereka.
Namun, di sisi lain, perayaan tersebut juga menjadi polemik yang terus diperdebatkan, khususnya di negara-negara dengan nilai konservatif kuat.
Fenomena Valentine bukan sekadar tentang memberi bunga dan cokelat, tetapi lebih kompleks dari itu. Ini adalah perayaan yang sarat dengan makna simbolis yang berkembang dari sejarah hingga menjadi bagian dari budaya global.
Hanya saja, sebagaimana banyak tradisi impor yang lain, penerimaan Valentine tidak selalu berjalan mulus. Ada yang menilainya sebagai simbol cinta dan ada pula yang melihatnya sebagai ancaman terhadap identitas budaya dan nilai-nilai lokal.
 "Culture is the widening of the mind and of the spirit." - Jawaharlal Nehru
(Budaya adalah perluasan dari pikiran dan jiwa.)
Â
Sejarah dan Evolusi Valentine
Perayaan Valentine bermula dari kisah Santo Valentinus, seorang martir Kristen yang dihukum mati pada abad ke-3 oleh Kaisar Romawi Claudius II. Dalam perkembangannya, Valentine mengalami perubahan makna yang signifikan dari sebuah peringatan keagamaan menjadi sebuah fenomena budaya global.
Saat ini, Valentine tidak lagi terbatas pada satu agama atau wilayah saja, melainkan sudah menjadi bagian dari tren komersialisasi yang melibatkan industri ritel, makanan, pariwisata, dan lain sebagainya.