Sepertinya kita sudah tidak asing lagi dengan petuah yang menyatakan perlunya untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) agar berhasil meraih sesuatu yang luar biasa. Namun sejatinya kita tidak pernah diberitahu dengan jelas perihal kemana seharusnya kita menjejakkan langkah pasca keluar dari zona nyaman itu. Sebatas diberikan clue agar mencoba hal baru dan berbeda daripada apa yang sudah kita jalani selama ini.
Akibatnya, tidak sedikit dari kita yang berusaha mengikuti petuah tersebut justru merasa kebingunan dan tidak tahu harus berbuat apa. Mau kembali ke zona sebelumnya sudah tidak mungkin, sementara harus menuju kemana lagi juga belum ada gambaran yang pasti.
Sehingga wajar kiranya apabila tidak sedikit dari kita yang enggan untuk sekadar mencoba beranjak dari zona nyaman itu. Meskipun barangkali ada sebagian orang yang memberanikan diri mengambil tindakan nekad tersebut. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa beranjak dari zona nyaman adalah keputusan bodoh yang penuh dengan risiko. Bukankah sebaiknya mengambil pilihan yang pasti-pasti saja daripada memutuskan sesuatu yang probabilitasnya serba tidak jelas?
Seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan ini, sesuatu yang besar mungkin akan berhasil diraih tatkala seseorang berani keluar dari zona nyamannya menuju zona baru yang penuh tantangan. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada kemungkinan justru kegagalan yang didapat dalam upaya tersebut.
3 Zona
Pada dasarnya kita hanya membutuhkan arah yang jelas pasca memutuskan untuk keluar dari zona nyaman yang sudah lama digeluti. Geoff Colvin dalam bukunya, Talent is Overated, mengatakan bahwa kita sebenarnya dihadapkan pada tiga macam zona. Yaitu zona nyaman, zona belajar (learning zone), dan zona panik (panic zone).
Petuah yang menyatakan bahwa sesuatu yang besar akan dapat diraih tatkala seseorang berani keluar dari zona nyamannya sebenarnya tidak bisa dimaknai secara "telanjang" keluar dari zona nyaman tanpa memiliki kejelasan akan kemana. Ada zona yang perlu untuk diarungi sebagai tahapan awal menjejakkan kaki keluar dari zona nyaman yang ada.
Kita perlu memulainya dari zona belajar terlebih dahulu. Bukan secara membabi buta melanglang buana tak tentu arah yang pada akhirnya justru menciptakan kepanikan dan penyesalan luar biasa. Setelah zona nyaman, kita sebaiknya melalui zona belajar terlebih dahulu sebagai bagian dari proses adaptasi. Bukan langsung memasuki zona panik yang memberikan tekanan lebih besar dan pastinya membuat kita semakin tertekan.
Ibarat kata, kalau kita sudah menguasai bacaan huruf hijaiyah dan masih baru belajar mengaji dan baru bisa melantunkan beberapa bait ayat dengan terpatah-patah, maka langkah selanjutnya adalah terus memperbaiki bacaan kita. Memperbaiki pelafalan huruf dan tajwidnya. Bukan langsung mempelajari tilawah yang kapastiasnya tentu berada pada level yang lebih tinggi.
Kemahiran kita menguasai bacaan huruf hijaiyah itu bisa dikatakan sebagai zona nyaman kita. Sedangkan membaca dalam rangkaian ayat merupakan zona belajar kita. Dan membaca secara tilawah adalah zona panik kita. Tentu dengan demikian keluar dari zona nyaman pun tidak boleh tergesa-gesa dan harus melalui tahap zona belajar terlebih dahulu hingga saatnya tiba ketika kemampuan yang kita miliki sudah semakin meningkat.
Tantangan untuk keluar dari zona nyaman pada titik tertentu adakalanya perlu untuk kita sambut demi mendapatkan pencapaian yang lebih tinggi dimasa yang akan datang. Meskipun demikian kita tetap harus membuat kalkulasi (sederhana) sehingga keputusan yang kita ambil nantinya tidak terkesan sebagai sesuatu yang konyol atau asal-asalan.
Salam hangat,
Ash