Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gagasan "Rumit" Jokowi, Berlakukan Darurat Sipil Ketimbang "Lockdown"

31 Maret 2020   08:01 Diperbarui: 1 April 2020   16:23 1459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi didampingi dua menteri kabinetnya | Sumber gambar : nasional.kompas.com

Bukan lockdown dan bukan juga karantina wilayah, tetapi darurat sipil merupakan opsi yang dipilih oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal upaya meredam persebaran virus corona covid-19. Bahkan frasa kata "darurat sipil" tersebut beberapa hari sebelumnya samasekali tidak mengapung di permukaan. 

Publik lebih banyak membahas kemungkinan karantina wilayah, lockdown terbatas, lockdown modifikasi, dan sebagainya. Tak ayal hal ini pun kemudian memantik pertanyaan banyak orang. Tidak sedikit yang menaruh curiga atas sikap pemerintah ini. 

Ubedilah Badrun, seorang pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyebutkan bahwa sikap pemerintah ini cukup aneh mengingat dalam upaya penanganan wabah yang makin meluas seharusnya pemerintah mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Akan tetapi Jokowi justru mengabaikan hal itu dan malah melihat peraturan lama "peninggalan" presiden pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno, yaitu Perppu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Penetapan Keadaan Bahaya. 

Peraturan ini sebenarnya lebih dimaksudkan terhadap kondisi negara yang terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau bencana alam. Bukan karena wabah atau pandemi sebagaimana yang sekarang terjadi.

Terkait hal ini, Pengamat Ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal, sebagaimana dilansir oleh laman detik.com mengatakan bahwa pembatasan sosial berskala besar atau darurat sipil ini tidak akan berimplikasi terlalu besar terhadap perekonomian dibandingkan pemberlakuan lockdown. 

Penurunan aktivitas ekonomi tidak akan terjadi setajam penerapan kebijakan lockdown. Paling tidak dalam jangka pendek. Namun opsi darurat sipil juga memiliki konsekuensi ketidakpasian ekonomi dalam jangka panjang karena pandemi yang bisa saja terus berlarut-larut terjadinya.

Lockdown memang ditengarai mampu menghentikan pandemi secara cepat, sepertmi misalnya lockdown yang dilakukan oleh China. Akan tetapi lockdown juga bisa memantik kekacauan masal sebagaimana yang terjadi di India. 

Pemberlakuan lockdown bisa jadi menghambat keberlangsungan pekerja informal di Indonesia. Sedangkan dengan pembatasan aktivitas sosial berskala besar para pekerja informal masih akan tetap bisa beraktivitas, biarpun menurun intensitasnya. 

Selain itu, kebijakan lockdown mengharuskan pemerintah untuk menjamin sepenuhnya kebutuhan hidup rakyatnya. Sedangkan untuk hal ini tentu membutuhkan sumber dana tidak sedikit, dan belum lagi birokrasi penyaluran yang pasti akan banyak masalah. Hitung-hitungannya panjang karena menyangkut aspek kesehatan masyarakat, serta kondisi sosial dan ekonomi.

Darurat Sipil dan Kebebasan Publik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun