Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Beranjak dari Bahasan "Halal-Haram" Valentine

14 Februari 2020   06:55 Diperbarui: 14 Februari 2020   06:58 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari kasih sayang adalah momen menebar kasih dan sayang kepada sesama | Sumber gambar : www.matamatapolitik.com

Hampir sejak pertama kali kemunculannya di Indonesia, perayaan hari valentine masih terus memantik kontroversi publik. Terutama menyangkut "status" hukum perayaannya secara agama. Apalagi jika melihat latar belakang mayoritas penganut agama di negeri ini adalah Islam. Sehingga tidak mengherankan jikalau suatu bahasan yang memiliki korelasi terhadap ajaran agama tersebut akan selalu menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan.

Sudah bertahun-tahun berlalu dan penentangan terhadap momen 14 Februari sebagai hari kasih sayang masih terus berlanjut hingga saat ini. Tetapi pada kenyataannya semua penentuangan tersebut seperti tidak memiliki dampak samasekali, malah justru membuatnya semakin besar. Pusat-pusat perbelanjaan, stasiun-stasiun televisi, dan beragam organisasi tidak segan-segan memanfaatkan momen tersebut untuk mendapatkan keuntungan lebih dari biasanya. 

Mereka membalut promosi ataupun produk-produknya dengan kemasan edisi hari kasih sayang sehingga menarik minat banyak orang untuk mempergunakannya. Kalau boleh dibilang, setiap momen adalah sebuah kesempatan berharga untuk mengkonversi peluang menjadi pundi-pundi uang.

Kembali pada bahasan terkait penolakan hari valentine yang selalu dikait-kaitkan dengan jejak masa lalu yang tidak memiliki afiliasi dengan sejarah peradaban dan ajaran dari agama mayoritas yang dianut di Indonesia. Terlebih beberapa tahun terkahir ini image dari hari valentine semakin diperburuk oleh karena tren negatif yang muncul didalamnya.

Seks bebas. Hal inilah yang justru menjadi ironi. Bahkan "efek" inilah yang ditengarai menjadi subab-musebab penentangan tertinggi terhadap momen hari valentine.

Pada dasarnya tidak ada keharusan ataupun larangan formal untuk turut merayakan momen spesial 14 Februari. Namun arus zaman telah membuat masyarakat kita terbawa oleh budaya luar yang lambat laun ikut mrasuk kedalam budaya negeri ini. Atas nama gengsi dan keren-kerenan, maka anak-anak bau kencur pun sudah turut merayakan hari valentine. Padahal mereka sendiri tidak tahu pasti apa sebenarnya hari valentine itu.

Hanya sebatas mengikuti tren yang ada serta euforia yang tersebar melalui dunia maya. Bagaimanapun juga, tren peradaban kini justru bermula dari genggaman tangan kita sendiri. Layar smartphone yang hampir setiap saat kita pelototi adalah sumber informasi tak terbatas yang mampu menginspirasi kita berlaku sebagaimana orang lain yang ada nun jauh disana. Tapi itulah realitas masa kini yang tidak bisa dihindari.

Membahas tentang hari valentine mungkin tidak akan jauh-jauh dari kontroversi yang menyertainya. Tapi untuk sejenak mari kita coba beranjak dari sisi kontroversial hari valentine. Mari kita melihat peluang tentang manfaat apa yang bisa kita ambil darinya. Bukan tentang perayaannya, tetapi lebih kepada efek positif sosialnya. Memangnya ada dampak positifnya? Kalau kita ambil satu poin yaitu terkait pengedepanan nilai kasih sayang dalam menjalin hubungan antar individu.

Lebih jauh lagi adalah menyangkut kasih sayang antar umat beragama. Pada prinsipnya, kita diajarkan untuk saling berkasih sayang satu sama lain. Dalam artian antara satu orang dengan orang yang lain mesti menaruh respek terhadap orang-orang di sekitarnya. Biarpun setiap pribadi memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Kasih sayang tidaklah sesempit pemaknaan yang dilakukan oleh sebagian orang yang cenderung menilainya sebagai hubungan antara laki-laki dan perempuan dan terkait masalah asmara. Kasih sayang memiliki makna yang jauh lebih luas dari itu.

Jikalau kasih sayang benar-benar dimaknai secara tepat, maka mungkin tidak akan ada aksi penolakan atau bentrokan antar umat beragama. Tidak akan ada pelecehan rumah ibadah dan terlebih perusakan terhadapnya. Barangkali krisis terbesar yang dialami negeri ini tidaklah serumit yang kita kira. Mungkin kita hanya krisis kasih sayang. Apakah 14 Februari bisa memberikan sumbangsihnya itu mengatasi krisis itu?

Salam hangat,

Agil S Habib

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun