Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setop Mencampuri Keyakinan Beragama Mereka

24 Juni 2019   11:32 Diperbarui: 25 Juni 2019   12:05 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nonaktif Ma'ruf Amin (kanan) saat megimami Sholat Maghrib Artis Deddy Corbuzier (kedua kiri), Ulama Gus Miftah (ketiga kiri) dan Ulama Yusuf Mansur (keempat kiri) di kediamannya di Jakarta, Jumat (21/6/2019). Kedatangan Deddy Corbuzier menemui Ma'ruf Amin untuk meminta doa sekaligus agar lebih mengenal islam usai Deddy Corbuzier resmi memeluk agama Islam. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Seringkali penulis bertanya-tanya terkait motif seseorang yang begitu mudahnya untuk berkomentar sinis atau bahkan menghujat keyakinan beragama orang lain, khususnya yang satu keyakinan. Tentu kita masih ingat dahulu ketika AA Gym memutuskan poligami, kemudian banyak orang yang menyudutkan beliau, misalnya.

Ada juga ketika seorang artis, Bebi Romeo, terlihat menunaikan sholat dipinggir jalan banyak netizen yang berkomentar memuji tetapi banyak juga yang mencibir. 

Mengapa bisa seperti itu? Kita banyak menilai baik buruknya keyakinan orang lain hanya dari sekelisasan pemahaman yang kita peroleh. Sekilas pemberitaan, sepotong video atau gambar, atau barangkali secuil kata-kata telah menjadikan kita mampu menarik kesimpulan besar.

Seakan-kita kita adalah pakar yang sudah bepuluh-puluh tahun menggeluti ilmu agama. Padahal bisa jadi pemahaman kita masih sangat cetek.

Alangkah baiknya apabila kita mengembalikan semua persepsi dan pandangan atas orang lain terhadap diri kita masing-masing. Terlebih apabila hal itu berkaitan dengan aspek keyakinan beragama.

 Sebelum menilai baik buruknya orang lain, bukankah lebih tepat kiranya jika kita menilai kualitas kebaikan diri kita sendiri? 

Selain itu, para tokoh publik pun hendaknya bersikap serupa. Mereka yang memang dipandang orang banyak sebagai tokoh panutan publik seyogianya juga bisa bertindak bijaksana, khususnya dalam berkomentar. Bukannya malah melontarkan statement yang justru memperkeruh suasana.

Saat ini ada begitu banyak anggapan bahwa pihak yang benar dan pihak yang salah itu abu-abu, sulit dibedakan. Saling klaim benar salah pun sudah sering terjadi.

Hal ini terjadi salah satunya disebabkan oleh hasrat diri kita yang terlampu tinggi dalam menganggap bahwa kitalah yang paling benar. Mereka yang berbeda harus diluruskan. 

Sayangnya hal ini seringkali dipahami secara parsial, sehingga mengorbankan kondusivitas dan ketentraman kita sebagai sesama warga negara.

Mari sama-sama belajar untuk menciptakan suasana kondusif di lingkungan kita, baik itu dalam ranah dunia digital ataupun dalam alam realitas.

Salam hangat,
Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun