Mohon tunggu...
AgusKurniawan
AgusKurniawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti BRIN

Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Ekologi dan Ethnobiologi, BRIN

Selanjutnya

Tutup

Nature

Bumi makin panas, saatnya wujudkan komunitas kelola mandiri sampah

28 November 2023   07:54 Diperbarui: 28 November 2023   08:00 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sampah merupakan sisa dari kegiatan manusia setiap hari, artinya setiap hari kita menghasilkan sampah. Sampah dipandang sebagai sesuatu yang kotor, jorok, bau, sumber penyakit dan lain-lain sehingga umumnya kita akan segera membuang sampah bagaimanapun caranya, meskipun harus mengeluarkan biaya untuk membayar jasa pemungut sampah.

Beberapa berita terakhir kita disuguhkan dengan informasi terkait sampah dan darurat sampah. Terbatasnya areal penampungan Tempat Penampungan Akhir (TPA) menyebabkan tumpukan sampah di pinggir jalan, kebun kosong, sungai, pasar dan lian-lain. Kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah masih sangat beragam dan cenderung masih kurang peduli. Kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat masih banyak dijumpai.

Sampah telah menjadi permasalahan nasional bahkan global. Makin banyaknya jumlah penduduk dan perubahan pola hidup akan meningkatkan jumlah sampah yang dihasilkan. Sebenarnya pengelolaan sampah ini tanggung jawab siapa? Tentu saja tanggung jawab kita semua. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, pemerintah memiliki wewenang dan kewajiban untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan dengan cara:

  • Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah;
  • Melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan sampah;
  • Memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah;
  • Melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah;
  • Mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah;
  • Memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan
  • Melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

Cara yang paling efisien dalam mengatasi sampah adalah dengan menekan jumlah sampah yang dihasilkan oleh setiap rumah tangga dan meningkatkan kapasitas aktor penghasil sampah untuk dapat secara mandiri menyelesaikan permasalahan sampah di lingkungannya. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan memperbanyak kelompok atau komunitas pengelola sampah di lingkungan masyarakat. Edukasi dan pelatihan terkait dengan pengetahuan terkait sampah harus dilakukan sehingga masyarakat dapat memahami terkait permasalahan sampah serta dapat berperan dalam mengatasinya. Mengelola sampah yang bersumber dari rumah tangga sebenarnya tidak sulit asalkan masing-masing keluarga memilki kesadaran dan kemauan untuk mengelola, mulai dari memilah, mengumpulkan kemudian memperlakukan sampah sesuai jenisnya.

Dari pengalaman mengelola sampah rumah tangga oleh kelompok pengelola sampah di lingkungan kampung iklim Sangurejo, sampah setelah melalui pemilahan menjadi sumber daya yang bernilai. Sampah organik dikelola menjadi sumber pupuk kompos dan sumber makanan bagi budidaya ternak, ikan, magot dan lain-lain, sedangkan sampah anorganik dapat dikumpulkan untuk dijual dan didaur ulang. Pengalaman di lapangan hasil penjualan sampah anorganik yang sudah dipilah-pilah cukup menarik untuk menggerakkan komunitas remaja, karang taruna, remaja masjid atau ibu rumah tangga, PKK sehingga dapat membantu dalam mengatasi mengelola sampah di tingkat RT, RW bahkan padukuhan. Dari pengalaman lapangan hampir semua jenis sampah anorganik dapat dijual atau didaur ulang, seperti sampah kantong plastic kresek, kantong plastic bening, botol air mineral, kardus, kertas bekas, kaleng, kaca, minyak jelanjah dan lain-lain.

Pemasukkan dari penjualan sampah anorganik ini dapat menjadi salah satu insentif dalam menggerakkan masyarakat dalam mengelola sampah selain itu harus ada dukungan oleh pemerintah setempat dalam upaya memberikan edukasi dan pelatihan pemanfaatan sampah yang lebih kompleks. Selain itu komunitas akan lebih bersemangat apabila mendapatkan perhatian dan fasilitasi pembinaan, pelatihan dan studi tiru ke komunitas lain yang sudah lebih maju dalam mengelola sampah. Aktor penggerak yang dapat menghidupkan komunitas pengelola sampah umumnya muncul dari kalangan tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, keagamaan, remaja maupun ibu rumah tangga yang umumnya telah mendapatkan literasi yang cukup terkait pengelolaan sampah.

Program pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan 20.000 kampung iklim di Indonesia di tahun 2024. Salah satu indikator utama dalam program kampung iklim (Proklim) adalah pengelolaan sampah organic maupun anorganik. Dengan program ini diharapkan menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan dari laju pemanasan global.

Penulis adalah peneliti pendamping program kampung iklim Kabupaten Sleman; Pengurus harian Fokkalis (Forum Kolaborasi Komunitas Peduli Sampah Indonesia) DIY; Peneliti Madya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun