Mari belajar dari masa lalu ketika kerajaan-kerajaan di bumi Nusantara mengalami masa-masa kejayaan. Nusantara merupakan wilayah kepulauan dan kelautan sehingga sangat kaya dalamkeberagamansuku, bahasa, budaya maupun agama. Proses lahirnya pemahaman konsep Nusantara diantara kepulauan yang berdaulat dan berwibawa memang sungguh menakjubkan. Dibutuhkan kesadaran kolektif yang kuat dan sama dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda untuk membentuk cara pandang bahwa kita merupakan satu kesatuan dalam nusantara atau dwipantara. Kesamaan cara pandang ini akan membentukrasa kebersamaan atau ikatanpersaudaraan untuk saling tolong-menolong dalam menghadapi masalah atau ancaman yang datang dari luar. Ternyata benih-benih semangat nasionalisme sudah dimulai sejak dulu di negeritercinta ini.
Pembentukan pemahaman yang sama dalam kemajemukan Nusantara tidaklah mudah meskipun hal itu ditujukan untukkepentingan bersama. Dibutuhkan keterbukaan jiwa, apresiasi yang tinggi dan kerendahan hati untuk melakukan usaha tersebut.Sepertinya, Kitab atau Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular, dapat memberikan jawaban yang kita butuhkan. Dalam Pupuh 139 Bait 5, Sang Mpu menuliskan, “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda // Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? // Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal // Terpecah belahlah itu, tidak ada kebenaran yang mendua (Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa).
Tulisan Sang Empu tersebut sungguh mencerahkan. Jiwa yang mampu melihat kesatuan, kebenaran dalam perbedaaan. Bukan toleransi atau sekedar apresiasi tetapi kesadaran bahwa setiap agama, meskipun berbeda-beda, selalu mengandung intisari kebenaran yang sama. Kebenaran bahwa Tuhan satu adanya, kebenaran bahwa insan yang bertakwa-beriman kepada Tuhan akan mengasihi sesama seperti dirinya sendiri. Atau yang seperti diungkapkan oleh Anand Krishna, “Agamamu, agamaku…agama kita bersama” .
Oleh karena itu, jiwa yang terbuka-damai akan selalu melihat kebenaran dimana-mana. Ternyata jiwa leluhur kita sangat reseptif-terbuka, tidak sempit-fanatik atau bukan tukang cap kafir terhadap yang berbeda dengan keyakinannya. Mungkin Mpu Tantular akan menertawai kita jika melihat kondisi Indonesia saat ini. Tidak pernah tercacat dalam sejarah Nusantara terjadi perselisihan antara pemeluk agama Shiwa, Shiwa-Buddha ataupun Buddha. Bahkan mampu menerima kedatangan agama lain seperti Islam dan Katolik. Meskipun sebenarnya tidak dapat dipungkiri kedua agama terakhir memiliki sejarah kelam di Indonesia.
Kesadaran Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa akan menuntun kita melihat persatuan diri dengan sesama mahluk atau ciptaan. Kesadaran untuk menghormati sesama seperti diri sendiri. Kesadaran yang membuka mata hati bahwa alam inipun adalah dirinya juga. Manusia hidup dari alam dan kembali ke alam untuk dimanfaatkan oleh manusia lagi. Pemahaman ini membuat leluhur kita sangat menghormati alam.
Berbagai persembahan-sesajenpun dilakukan sebagai ucapan syukur kepada, tanah, gunung, air, tumbuhan dan laut yang telah menjadi sarana berkah kehidupan dari Tuhan. Tapi kemudian kita menyebutnya “berhala”, animisme dll. Rupanya tuduhan kita salah besar. Para ilmuwan telah menemukan bahwa air dan tumbuhan merespon tindakan manusia. Pikiran dan perasaan negatif menyebabkan kualitas air bersih sama dengan kualitas air tercemar, dan tumbuhan menjadi stress, pertumbuhannya terhambat serta hasilnya cepat rusak. Demikian juga sebaliknya. Bahkan bumi ini pun hidup. Benda “mati” ini melindungi dan memberi kita hidup dengan “tarian rotasinya”. Tidak perlu menunggu hari kiamat, minta saja bumi berhenti menari satu menit saja, maka semua bentuk kehidupan akan sirna.
Kesadaran Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa mengantarkan manusia pada harmoni dirinya sendiri, sesama manusia dan alam semesta yang terangkum dalam hukum sebab-akibar, hukum karma atau hukum tabur tuai. Kemudian berkembang menjadi hukum kasih, sepi ing pamrih-pahala-imbalan, rame ing game. Sungguhlah benar dan tepat para founding father-mother menjadikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, warisan leluhur yang adi luhung nan teruji, untuk mempersatukan Indonesia yang sungguh beragam ini. (Sumber : Sutasoma; Wedhatama bagi Orang Modern; Narada Bhakti Sutra: Menggapai Cinta Tak Bersarat dan Tak Terbatas; The Gita Of Management; The Wisdom of Bali; www.omkar.org; semuanya karya Anand Krishna)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI