Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tujuh Surat (2)

14 Mei 2012   02:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:20 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sebelumnya ....)

RANGKAIAN simbol yang menarik, pikir Adam. Dengan memahami kemampuan sendiri, ia merasa lebih cocok menggunakan termin “menarik” untuk hal-hal yang justru belum dimengerti. Enam surat itu kini kembali tergeletak di atas meja. Monitor komputer berpendar-pendar di tengah keremangan kamar. Barang-barang lebih banyak didiamkan. Satu-satunya yang paling aktif di tangannya adalah cangkir putih bergambar Tari Pendet berisi kopi yang hampir dingin.

Enam surat itu sekilas nampak biasa dan iseng. Adam membolak-balik posisi kertas di atas meja berkali-kali. Menukar posisi lembar satu dengan yang lainnya, berharap seutas benang merah mencuat, tapi hasilnya nihil untuk beberapa saat. Saat pikirannya melompat dari permukaan satu surat ke permukaan surat yang lain, bayang-bayang di kepalanya buyar. Telepon berdering.

Halo, Pak Adam. Anda harus kemari segera. Ada satu surat lagi yang tiba sejam lalu.

“Apa? Surat ketujuh?”

Betul, Pak. Anda bisa ke rumah saya? Alamatnya …

“Em, maaf. Bisa Anda jelaskan saja? Saya sedang ada pekerjaan …”

Atau saya pindai saja lalu kirim via email?

“Boleh. Kirim sekarang.”

Em … Pak Adam?

“Ya, Bu Gina.”

Surat ketujuh ini … sedikit menakutkan.

“Menakutkan maksudnya? Halo … halo?!”

Panggilan terputus.

Butuh lima belas menit hingga pesan elektronik itu sampai dan menimbulkan bunyi “bing” yang terdengar lucu di komputer meja Adam. Ia mendekatkan matanya ke monitor untuk memastikan semua bagian teks terlihat beserta gambar bangun baru yang hanya bisa membuatnya menggosokkan kedua telapak tangan. Pikirannya masih disibukkan oleh kalimat terakhir dari kliennya barusan. Kata “menakutkan” bisa saja berbeda tingkat interpretasinya jika dikatakan oleh perempuan. Mereka bisa punya lebih dari satu ketakutan yang jarang dimiliki laki-laki. Fobia, misalnya. Atau hal-hal yang sebetulnya bagi hanya mengejutkan, justru bagi perempuan sudah cukup menakutkan lagi traumatik. Penjelasan singkat itu tidak membantu Adam untuk lebih tenang, tampaknya. Ia menyimpan data kiriman surat ketujuh itu, mencetaknya lalu dengan tangan kanan yang berdebu ia baca surat itu.

Bertulis tangan dengan tinta biru gelap yang khas. Di tengah lingkaran ada simbol yang cukup jelas meski bercetak  tanda air. Lingkaran utuh. Tanpa isi di tengah, tanpa silang atau apapun. Hanya lingkaran yang diameternya lebih dari setengah lebar bidang kertas. Di bagian kiri atas tertera tulisan:

Untukmu Gina yang mengetahui di mana cinta berada.

Kau pasti akan menemukanku yang menunggu.

Ini surat terakhir.

Tapi semuanya belum selesai, sampai kau menemukan kematian.

Salam hangat,

…..

Enam surat yang sebetulnya nampak biasa. Tidak ada nama pengirim. Semuanya berisi puisi romantis yang lebih mirip buatan anak SMP. Lalu datang surat ketujuh dengan gaya bahasa yang sama. Bedanya, ada kata “kematian” yang membuat Adam mengelus dagu dengan lambat berkali-kali.

“Untuk apa ia pakai kata-kata ini?”

Belum lagi ia menambah lipatan dalam pikirannya, terdengar nada pesan masuk dari perangkat di meja itu. Kali ini, pesan obrolan yang sejak dua jam terakhir ia lakukan bersama seorang temannya di seberang.

Ada titik terang.

Sepertinya ini orang yang kau cari.

Adam kembali menegakkan badannya karena kali ini muncul gambar seorang laki-laki tua di monitor. Sosok itu nampak lelah dibalut usia. Pundaknya jadi lurus memperlihatkan batang-batang tulangnya, sementara pipinya kempis berpadu dengan dagu yang menegaskan wajahnya tirus. Rambut keriting dan uban di sana-sini. Pakaian yang dikenakan juga boleh dikata kelas bawah. Tidak ada nama.

Imoet: Siapa orang ini?

Otakmu: Namanya Yusep Sunarya. Pensiunan guru. Sekarang tinggal di Kuningan.

Imoet: Jawa Barat?

Otakmu: tul.

Imoet: Menurutmu dia yang kirim surat-surat?

Otakmu: Kurasa iya. Semua petunjuk mengarah ke orang ini. Ada tiga alamat.

Adam memerhatikan sosok itu dalam-dalam sekali lagi. Lalu kembali menjauh dari monitor selama lima belas detik sebelum akhirnya membalas pesan itu lagi.

Imoet: Sangat membantu. Trims, Zul.

Otakmu: Sami-sami, kang. Brain out.

Sebetulnya semua ketujuh surat adalah satu rangkaian. Itu jelas, terlihat dari pola pengiriman dan dugaan pengirimnya yang sama. Tujuh simbol yang mewakili tiap-tiap surat seperti pesan bersambung yang menyatakan sebuah pesan jelas untuk seseorang yang namanya ditulis di sana. Adam menimbang beberapa hal ketika monitor dimatikan. Meski tidak banyak yang mencuat sebagai petunjuk pasti,  paling tidak foto sosok tua itu adalah sesuatu yang berguna. Petunjuk dari rekannya Zul sangat jelas menggambarkan orang itu bisa saja masih hidup dan bisa dimintai keterangan.

Tiga alamat rumah. Tapi yang mana?

Kemudian entah mengapa, perhatiannya kembali tertuju ke surat-surat di barisan awal, sesuai urutan sampainya sebagaimana diutarakan dengan penuh rasa khawatir oleh Gina.

Pukul 00.05 dan Adam masih membolak-balik sendiri gambar-gambar itu. Letaknya ditukar satu sama lain, namun selalu saja nalurinya bekerja untuk melihat susunan lebih cocok sebagaimana urutan awal. Dan kembali lagi urutan seperti sedia kala. Sesekali ia terdiam untuk menikmati keheningan. Rasa kantuk menyelimuti kepalanya.

Siku, awan, segitiga, segiempat dengan tulisan ‘compl.’, dua panah berlawanan arah, angka tujuh, kemudian terakhir lingkaran penuh dengan pesan kematian. Mulai dari mana?

1336961548481462153
1336961548481462153

Telepon genggamnya kembali berdering saat ia ketiduran di kursi.

“Halo Adam, sepertinya ada satu rumah yang cocok.”

(Selanjutnya ....)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun