Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Misteri Kematian Gadis Titipan (6-Habis)

15 April 2012   13:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:35 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13342444612111303866

(Selanjutnya ....) Orang tua itu nyaris tak dapat menahan emosinya. Tapi sepertinya ia sendiri sadar bahwa hal itu lebih disebabkan oleh rasa kebingungannya sendiri. “Tenang dulu, Pak. Biar saya jelaskan lagi lebih lengkap.” Adam lalu kembali berdiri tegak. "Jonas, saya tunjuk sebagai tersangka penyerangan dalam dua hari terakhir, termasuk, penyerangan terhadap Anda. Itu sudah pasti." Thomas dan Jonas saling memandang, tapi sang anak terlihat lebih gemetar. Adam lalu membungkuk dan merogoh tas yang berada dalam keadaan terbuka di dekat kakinya. Jonas terkejut ketika melihat apa yang dikeluarkan dari sana. "Benda ini," kata Adam. "adalah petunjuk penting yang tak bisa disanggah lagi." Semua memperhatikan, sebagian dari mereka tidak mengerti mengapa di tangan Adam kini telah tergenggam seperangkat jaket kain lentur dengan bentuk tudung yang agak besar, serta dua helai masker sekali pakai yang sudah berdebu. "Celananya ada di tas. Tapi saya kira kedua jaket dan masker ini sudah cukup membuktikan bahwa kamu, Jonas, adalah orang yang sama menyerang saya dua hari lalu, dan juga ayahmu sendiri malam sebelumnya. Apakah kamu menyerang dada ayahmu dengan pisau sama yang baru saja keluarkan tadi? Pisau kertas itu?" Anak itu menunduk. Sementara Martini si tetangga hanya bisa menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Thomas merasakan luka di dadanya berdenyut, mengetahui bahwa anaknya tak bisa menyanggah satupun kalimat dari Adam. "Akui saja, Nak. Tidak hanya petunjuk ini yang mengarahkan saya kepadamu." Eno kemudian mengangkat tangan dan bertanya bagiamana bisa sang investigator mendapatkan jaket dan masker itu. "Ah! Pertanyaan bagus, Eno." Adam meletakkan jaket itu ke meja. "Sejak awal aku sudah merasa terganggu dengan mobil Kijang tua yang terparkir di depan. Bau tidak sedap ketika aku melewati jendelanya yang terbuka kemarin langsung memberi petunjuk bahwa ada sesuatu di dalamnya. Dan ternyata inilah, saya mengambil jaket ini dari sana, tepat saat Jonas kembali ke dalam rumah setelah menjamu saya dan inspektur Eno hari itu. Kecerobohan anak SMP, saya menduga. Harusnya kamu membuang atau membakar saja jaket ini, tapi itu tidak mungkin bukan? Karena kamu berniat memakainya lagi setelah ini, Betul begitu?" Jonas terdiam. Kali ini ia lebih pasrah. "Dengan demikian terpecahkanlah teka-teki yang pertama. Berarti ..." Adam mendekat ke meja kemudian mengambil sebuah boneka kecil berbentuk tentara. "Kita tidak memerlukan tentara kecil ini. Kenyataannya hanya ada satu tentara pembawa belati." Ia bangkit sambil tersenyum. "Sekarang. Teka-teki yang paling penting. Nomor dua. Tentang kematian Greisa." Adam mengedarkan pandangan sekali lagi. ""Mengapa Jonas, anak Anda ini, Pak Thomas, melakukan itu? Akan saya jelaskan segera. Karena selalu ada kaitan kejadian-kejadian kecil dalam sebuah kasus besar. Untuk itu, bolehkan kita bergeser ke kamar Greisa di lantai dua, konstruksi kasus ini akan lebih terang benderang di sana. Mari." Mereka lalu berpindah ke lantai dua. Thomas dipapah perawatnya beserta seorang polisi muda yang menggunakan baret. Adam tiba lebih dulu di dalam kamar kemudian meraba salah satu balok melintang di kamar itu. "Kenyataan yang paling mendasar yang menjadi titik balik kasus ini, sekaligus kesalahan fatal kepolisian, adalah ..." Adam menghadap jendela besar ke arah gang di bawah. Cahaya matahari yang memantul dari jalanan langsung menyinari wajahnya. Sementara yang lainnya berdiri seperti berbaris di tengah ruangan. Dua polisi berjaga di luar pintu. "... bahwa seseungguhnya, Greisa Putri meninggal dunia ... bukan karena dibunuh." Seperti sambaran kilat datang sekali lagi. Thomas nyaris melompat terlepas dari tangan perawat itu, sama terkejutnya dengan semua orang di situ kecuali Eno yang justru menunduk simpatik. "Apa maksudnya ini, Pak Adam? Saya sudah bayar Anda mahal-mahal mengungkap misteri dari kasus ini, bukannya menambah misteri-misteri lain yang tidak masuk akal! Bagaimana ..." Adam tersenyum menerima tolakan dan tarikan pada kerah jaketnya yang dilancarkan oleh kliennya itu. "Maafkan saya, Pak Thomas. Saya mengecewakan Anda. Tapi itulah kenyataannya." Thomas melepaskan tangannya persis sebelum Eno meraih tubuhnya. "Greisa Putri bunuh diri. Dan saya bertanggung jawab atas pernyataan saya ini, dengan mempertaruhkan integritas profesi saya yang tidak seberapa di mata Anda." "Bunuh diri?" "Ya. Greisa bunuh diri. Dan saya yakin, Jonas tahu ini sejak awal." Adam lalu menunjuk jauh ke arah anak SMP yang hanya tertunduk sambil tersedu-sedu di tangan seorang petugas polisi yang meringkusnya. Thomas lelah. Ia lalu berpindah ke kursi kemudian duduk sambil menutup mukanya. Ia tak menduga keluarga kecilnya mendapat cobaan yang begitu pahit, lebih menyedihkan karena harus diungkapkan dengan cara yang begitu mengejutkan. "Saya bersimpati mendalam atas kematian Greisa, meski sebelah hati saya mewajibkan agar kasus ini saya ungkap sampai sejelas-jelasnya. Jadi saya mohon kita semua bisa bekerja sama. Saya akan melanjutkan." Setelah melepaskan kedua tangannya dari pinggang, Adam berjalan pelan ke arah Jonas, memegang kepala anak itu, lalu melanjutkan kata-katanya. "Mengapa tadi saya meminta Anda untuk menahan diri, karena sesungguhnya Jonas sangat mencintai kakaknya, meski dengan itu ia harus melakukan kesalahan yang tidak ia sadari akibatnya." Tetangga, Martini, kemudian mendekat ke arah anak itu. Naluri keibuannya muncul lalu ia ikut memegang kepala Jonas. "Jonas melakukan penyerangan kepada saya, juga dengan fatal kepada ayahnya sendiri, sebagai bentuk perlindungan terhadap Greisa, kakak yang ia cintai. Setelah berjalan-jalan dan melihat keadaan rumah ini selama dua hari terakhir, saya memutuskan untuk mengambil keterangan dari beberapa tetangga di sekitar sini. Awalnya saya hanya berniat menanyakan soal 'rumah orang-orang timur' yang diberitahukan spontan oleh Pak Thomas di RS Bethesda waktu itu. Tapi dalam perbincangan saya dengan Bu Martini, saya menemukan fakta bahwa sesungguhnya Greisa bukanlah anak kandung dari Pak Thomas." Thomas mengangkat wajahnya. Kini telapak tangannya basah oleh air mata, tanda kekalahan dan kesedihan yang berusaha ia rangkai dengan banyak alasan. "Meski saudara tiri, Jonas begitu melindungi kakaknya. Walaupun di satu sisi karakter Greisa yang tak begitu terbuka dan jarang mengobrol dengan adiknya, Jonas diam-diam melindungi sang kakak dengan caranya sendiri. Greisa bunuh diri di sini. Tepat di kamar ini. Jika Anda lihat bagian balok ini," Adam bergerak dan meraba balok putih yang melintang tepat di atas pintu kamar mandi. "Bisa ditemukan serat kain selendang dengan beberapa benang berwarna cokelat. Benang nilon, saya kira. Dan ini bukanlah tempat yang wajar untuk meletakkan kain ataupun jemuran. Di sinilah tubuh Greisa menggantung. Persis dalam posisi yang ditemukan oleh Jonas, saudaranya." Semua mata memandang ke arah yang sama, kemudian mengikuti Adam yang bergerak kembali ke depan Jonas. "Kamis malam, saat menemukan tubuh kakaknya tidak bernyawa, Jonas bisa berpikir keras  bagaimana ia memberitahu ayahnya, bahwa kakaknya telah bunuh diri. Tak mungkin ia memberitahukan kepada ayahnya bahwa Greisa bunuh diri, karena itu hanya akan membuat ayahnya menderita. Beruntung anak ini tidak mudah panik, saya kira itu karena didikan keluarga ini juga, Jonas tidak banyak bicara dan justru bisa berpikir lebih untuk mengambil tindakan. Lalu, dengan misterius ia menurunkan tubuh kakaknya, membungkusnya dengan selimut, kemudian dalam keadaan rumah kosong ia membawa tubuh kakaknya sendiri dengan susah payah, menyeretnya dengan selimut itu, sampai akhirnya memasukkannya ke dalam kabin belakang mobil Kijang tua miliknya yang sebelumnya ia siapkan di depan pintu." Adam bergerak kembali ke depan jendela. "Betul. Mobil di sana itu. Saya menyadari ada yang aneh ketika Jonas mengatakan bahwa kakaknya tidak pernah naik mobil itu, tepat di hari saya mengeluhkan aroma kurang sedap dari mobil itu." Adam mengelus dagunya. "Saya berpikir jelas aneh karena nyatanya sisa parfum zaitun bercampur ceri hijau Finlandia masih saya rasakan dari kabin mobil itu. Sama seperti yang kita hirup dengan sangat kuat di kamar ini. Menyeruak dari beberapa sudut. Tidak mungkin bau setajam itu hinggap kecuali pernah terjadi kontak beberapa saat dengan jok, atau lantai kabin. Sampai akhirnya saya berpendapat, bahwa setidaknya baju korban pernah berada setidaknya beberapa menit di dalam mobil itu." Thomas bernapas lebih cepat. Ia segera ingin mengetahui lebih banyak tentang kematian putrinya. "Dengan keahlian mengemudinya yang seperti orang dewasa, sekitar tengah malam Jonas membawa mayat Greisa dengan mobil ini ke rel, tempat di mana akhirnya korban ditemukan warga sekitar pada subuh berikutnya. Untuk memudahkan identifikasi, tak lupa ia membawa serta dompet kakanya kemudian memasukkannya ke bagian saku kiri jaket yang sebelumnya ia kenakan ke badan Greisa itu. Aneh, karena tak biasanya perempuan menaruh dompet di bagian tubuh sebelah kiri, kecuali dia adalah orang kidal. Kesalahan awal polisi karena mengira bukti foto Daud yang ditemukan di dekat korban, adalah petunjuk bahwa sang kekasihlah yang melakukan pembunuhan. Padahal, Jonaslah yang me.etakkan foto itu di sana. Uniknya, tidak ada memang sidik jari anak ini di foto itu. Yang berarti ..." Adam menatap jauh ke wajah Jonas lagi. "Daud sendirilah yang membantumu membuang tubuh Greisa." Jonas menggeleng, sudah jelas ia mengakui setiap kalimat Adam. Sampai sejauh ini tak satupun pernyataan yang disanggahnya. "Malam ketika tubuh kamu temukan, tiba-tiba Daud datang tanpa kamu sadari. Di situlah saya kira kamu sempat bertengkar dengan Daud, sampai akhirnya kamu menceritakan semuanya kepadanya. Pacar Greisa yang sangat mencintai kekasihnya itu berhasil kamu yakinkan dengan persoalan keluarga yang kamu ceritakan, kemudian dengan bantuannya kamu mengangkat tubuh Greisa dari lantai dua ke lantai satu, kemudian bersama-sama melakukan aksi malam itu. Daud memilih ikut terlibat, juga karena rasa cintanya yang mendalam kepada Greisa. Jelas itu bukanlah sesuatu yang mudah, membawa sendiri tubuh kekasihnya yang sudah tidak bernyawa." Semuanya makin bingung, maka Adam langsung beranjak membahas hal yang lebih penting. "Saya kira modusnya demikian. Polisi menemukan mayat atas laporan warga, melakukan identifikasi, kemudian dengan mudahnya menentukan Daud sebagai tersangka. Satu-satunya yang mereka tidak sadari adalah bahwa hal ini sudah direncanakan sejak awal oleh Daud, juga Jonas." Eno menggeleng seakan tak percaya. Ia telah mendengar penjelasan versi lebih singkat dari mulut Adam malam sebelumnya di kontrakan sempit itu, tapi penjelasan barusan benar-benar membuatnya tak percaya sekaligus kagum. Nampak keempat polisi sama herannya, sementara Martini lagi-lagi hanya bisa menutup mulut. Perawat cantik itu terus-terusan menenangkan tuannya yang menunduk. "Motif mereka melakukan kegilaan ini adalah ... guna menyembunyikan fakta bahwa Greisa bunuh diri. Jonas dan Daud memiliki perasaan  cinta yang sama. Baik kepada Greisa, maupun kepada Anda, Pak Thomas. Daud paham betul bahwa Anda mencintai putri Anda meski dia bukanlah anak kandung Anda. Informasi ini saya dengarkan dan saya percaya dari perkataan Bu Martini." Lalu tamu itu menunduk hormat. "Tetangga Anda tahu sejak awal, tetapi ketertutupan keluarga ini membuat mereka tidak bisa berbuat banyak. Bagaimanapun, masalah internal keluarga harus diselesaikan oleh keluarga itu sendiri. Orang lain akan membantu hanya jika diminta. Dari keterangan Bu Martini saya mendapatkan fakta bahwa pada kenyataannya Greisa sering menyendiri di balik jendela, dan melakukan hal-hal aneh sambil termenung menghadap ke jalan di ruang kamar ini. Boleh Anda sebutkan hal apa yang sering Anda perhatikan, Bu Martini? Tetangga itu nampak gugup meski kata-katanya cukup bisa dimengerti. "Anu, maaf, Pak Thomas. Tapi saya sering melihat nona Greisa mencoret-coret sendiri kaca jendelanya dengan spidol. Kadang juga, membawa empat gelas ke dekat jendela itu, lalu menggores-gores empat gelas itu. Ada gelas hitam juga. Kurang jelas apa yang dilakukan Mba Greisa setiap sore itu, saya tidak bisa melihat jelas karena jauh." Thomas menatap tetangganya, kini dengan sedikit rasa hormat. "Saya yakin keempat gelas ini yang dimaksud Bu Martini." Adam lalu menarik perhatian lagi ketika di depannya sudah tegak di atas karpet empat buah gelas anggur seperti yang sudah dibawanya. Martini mengangguk dan membenarkan bahwa keempat gelas itulah yang ia maksudkan. Kemudian dengan isyarat khusus Adam meminta Martini menyampaikan semua yang ia tahu. Adam lalu mengeluarkan telepon genggam dan buku catatannya. Sesaat kemudian sudah terbuka pesan baru yang dikirim dari nomor tertentu. Pesan kematian Greisa.

P15ONSiO2MESSAGEOVER.FOWERatSAPO

"Pesan inilah yang berhasil Eno dan saya pecahkan. Yang mengarahkan kami menyimpulkan bahwa benar Greisa bunuh diri. Ini adalah bukti paling kuat atas hal itu, yang mengarahkan kami ke empat gelas ini." Tetangga paruh baya itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menjelaskan lagi. "Sebetulnya, setahu saya dan beberapa warga di sini, Pak. Greisa itu dekat sekali dengan almarhumah ibundanya. Tapi kami tidak begitu paham mengapa antara ibu Ningsih dan Pak Thomas sering terjadi masalah dan kami sering mendengar pertengkaran dari rumah ini. Saat itu pulalah, di jendela kembali muncul Greisa. Mencoret-coret gelas dan kaca. Kami seperti melihat Greisa sebagai anak titipan. Tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi, sampai akhirnya Bu Ningsih meninggal dunia, kami merasa harus melindungi anak itu dari cengkeraman ayahnya. Sebelum meninggal Bu Ningsih sempat sambil bercanda berkata menitipkan Greisa kepada kami para warga, tapi kami tidak bisa berbuat banyak karena rumah ini begitu besar. Maaf, Pak Thomas. Kami segan terhadap Anda." Adam menyimak dengan cermat, meski perasaannya ikut terusik. "Keempat gelas ini adalah hadiah ulang tahun dari Bu Ningsih kepada anak gadisnya. Jelas Pak Thomas tahu ini karena dua dari empat gelas ini adalah hadiah pernikahan mereka. Di gelas ini, ada beberapa catatan yang ditulis sendiri oleh kedua tangan Almarhumah Greisa. Tolong matikan lampu dan tutup semua kerai jendela." Dua polisi kemudian mengikuti instruksi itu tanpa saling tunjuk. Meski tak begitu gelap, mereka semua bisa melihat sesuatu kembali berpendar di gelas itu. Akhirnya kini semua terlihat jelas. Ada kalimat-kalimat dan beberapa kata tunggal yang dituliskan Greisa. "Fosfor adalah cairan khusus yang hanya akan kelihatan wujudnya di dalam ruangan gelap. Yang secara kebetulan, bisa dengan mudah didapatkan oleh Greisa karena kuliah di jurusan kimia. Di dua gelas berwarna hitam, terdapat kata-kata seperti. "INI AKU" dan "INI BUNDA", sedangkan kedua gelas bening ditandai sebagai laki-laki di rumah itu. Di gelas kaca berwarna hitam itu pula terdapat sisa-sisa catatan Ningsih yang sengaja ia titipkan untuk anaknya. Fosfor, zat kimia yang cukup bersahabat, mereka gunakan untuk meninggalkan pesan. Dengan menggunakan cairan itu, Ningsih menulis beberapa pesan mengapa ia bunuh diri. Rasa sakit hati dan kekerasan rumah tangga membuat dirinya tidak kuat sampai akhirnya menyerah. Namun satu-satunya alasan yang paling masuk akal ditempuh oleh sang bunda adalah memastikan anaknya tidak menderita hal yang sama. Setiap perempuan butuh tempat pelampiasan perasaan. Bunda dan anaknya sepertinya memilih hal yang sama dalam hal ini, menulis kata-kata dengan tinta fosfor, di atas gelas kaca." Mereka masih menyimak. "Kekerasan terhadap bunda tercinta sempat membakar rasa dendam dalam tubuh Greisa. Tapi ia melihat ayahnya kini seorang yang jauh berbeda, jauh lebih penyayang. Sampai akhirnya ia hanya bisa bersimpati kepada mendiang bundanya. Lalu kemudian, ia menemukan sisa-sisa pesan Bu Ningsih mengapa ia begitu sakit hati kepada suaminya, adalah bahwa pernah terjadi perselingkuhan yang dilakukannya. Meski ia merasa bersalah, ia tak sanggup menceritakan hal itu kepada suaminya. Berpikir bahwa cepat atau lambat kesalahan itu akan terbongkar, ia memilih mati. Fakta itu membuat Greisa begitu terpukul. Menyadari bahwa bunda yang selama ini ia dukung dengan sepenuh hati, ternyata pernah melakukan kesalahan yang tak bisa ia terima. Dalam kebingungan itulah, ia dilema. Tak bisa memilih antara melupakan kesalahan ibu sendiri atau membalaskan dendamnya kepada sang ayah, ia mulai sering termenung. Karena itulah ia mulai bermain teka-teki dengan pacaranya Daud, seseorang yang ia anggap cocok sebagai penyampaian beberapa petunjuk tentang perasaan dan rencananya. Pesan-pesan SMS yang saya maksud tadi adalah petunjuk penting ke arah pesan-pesan pada gelas." Terdengar sayup-sayup isak tangis. Tidak hanya Thomas yang mengalirkan air mata. Tak bisa menahan rasa haru, Martini juga membasuh hidungnya, juga Jonas yang sudah terisak dari tadi. Sementara keempat polisi dan Eno hanya bisa diam terpaku. "Sesungguhnya, Pak Thomas. Ini adalah kasus dengan dua alur tindakan yang penting. Satu sisi menjelaskan betapa anak laki-laki Anda begitu mencintai kakaknya dan tidak ingin mengecewakan Anda, juga di satu sisi Greisa putri Anda yang berusaha menghapus masa lalu kesalahan istri Anda. Kedua anak Anda saling melindungi, meski pada kenyataannya Andalah yang mereka ingin selamatkan. Jonas tidak ingin Anda malu di depan para tetangga karena mendapati dua anggota keluarga dekat bunuh diri karena Anda. Itulah kenapa dia melindungi dengan caranya sendiri. Begitu pula Daud." Beberapa kilometer dari rumah itu, Daud yang berdiri memegang jeruji selnya, melayangkan pikiran yang tak bisa ia gambarkan. Meski sedikit kepercayaan membuatnya berpikir bahwa ia harus menyesali semuanya, betapapun ia melakukan hal itu atas nama cinta. "Jadi demikianlah kiranya penjelasan saya, Bapak Ibu. Pak Thomas, saya harap setelah Anda mengetahui fakta-fakta ini, Anda bisa memaafkan almaruhmah putri Anda. Ia mungkin meninggal dengan cara yang tak begitu menyenangkan untuk diterima. Tapi yakinlah bahwa terkadang  perempuan tak bisa menahan perasaannya sendiri, bahkan di depan orang yang paling dicintainya. Sekarang Anda punya Jonas, anak yang bisa menjadi harapan Anda lebih baik di masa depan. Saya yakin anak ini akan menjadi hebat, karena ia menyimpan tiga cinta sekaligus. Dari mendiang kakaknya, mendiang ibunya, dan juga Anda yang masih ada untuk dia." Kalimat itu hanya membuat Thomas semakin terisak. Suaranya semakin keras, membuat perawat itu ikut meneteskan air mata ketika mengelus-elus pundak tuannya itu. "Sekarang, Pak Polisi. Silakan bawa laporan saya ini untuk Anda pertimbangkan," kata Adam sambil menyodorkan map kepada salah seorang petugas. "Saya yakin setelah ini Anda akan memperbaiki status kasus atas saudara Daud. Dan mengadili dengan bijak seorang pelajar yang melakukan kasus ringan. Saya yakin memindahkan tubuh orang meninggal tidak termasuk tindak pidana yang berat. Dan pastikan ia mendapatkan hak-haknya dari Komnas Perlindungan Anak." Pertemuan di rumah itu berlangsung hingga sore. Thomas masih terkejut hingga akhirnya Adam beserta tamu lain tak sempat menemuinya kemudian pulang. Jonas dibawa ke kantor polisi yang kemudian dipertemukan dengan Daud. Rumah itu kembali sepi ketika Adam dan Eno sudah berada di tempat lain pada petang harinya. Matahari senja melukis langit Yogyakarta menjadi oranye. Udara sejuk terasa ketika inspektur meletakkan telepon genggamnya di atas meja. Udara hangat menjelang senja dan posisi mereka yang berada balkon atap sebuah restoran yang menghadap langsung ke Stasiun Lempuyangan. Suasana yang lebih terbuka mengantarkan pikiran ke seluk-beluk yang lebih melegakan setelah berjibaku dengan banyak teka-teki. "Laporan kita diterima. Bagian reskrim membuat BAP baru dan mereka berdua mengakui semuanya seperti penjelasan kamu tadi. Jonas tidak bisa berhenti menangis, kata petugas di sana." Adam hanya berdeham sambil mengangguk. Ia hanya melihat jauh ke arah matahari meluncur perlahan. "Sungguh ini kasus yang menarik." Eno berkomentar lagi setelah menyeruput kopi panasnya. "Terasa antiklimaks, tapi setidaknya penjelasanmu masuk akal. Tak satupun disanggah oleh Jonas." Adam menggeleng kemudian ikut mengangkat cangkir kopi. "Yang lebih penting adalah Thomas pada akhirnya menerima penjelasan tadi. Menyadari bahwa melegakan mengetahui yang sebenarnya, meski menyakitkan. Orang tua itu menepati janjinya, dan kuyakin dia akan baik-baik saja. Jonas tidak akan dihukum berat, saya kira. Kemungkinan besar bebas. Dan rumah itu bisa lebih meriah lagi." Eno mengangguk. "Tapi tetap saja kurasa ada yang mengganjal, belum terjawab." Tapi pertanyaan itu justru dibalas tawa oleh rekannya yang investigator itu. "Eno sahabatku. Misteri tetap saja misteri, meski manusia mengaku terlalu cerdas telah membongkar semuanya. Tidak ada yang mengetahui semua kebenaran atas misteri, kecuali dua. Yang mengalami, dan yang menciptakan misteri." Gestur mengarahkan ujung telunjuk ke langit sudah cukup meyakinkan polisi itu bahwa selama beberapa jam kemudian, mereka lebih baik membicarakan hal-hal yang lebih menyenangkan. "Setidaknya kamu sudah punya uang untuk membenahi kamarmu lebih menarik besok." "Ya." *** Selesai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun