Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - BINUSIAN

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ada Apa dengan Media Massa Kita?

5 November 2021   04:47 Diperbarui: 5 November 2021   05:00 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumen dari unggahan akun Twitter dengan nama pengguna @loudcaptain)

Kepergian seorang pesohor negeri ini beserta suaminya pada 4 November 2021 memang menyita atensi publik. Lumrah, almarhumah memang figur publik yang sudah sewajarnya menjadi sorotan masyarakat. Namun, melalui tulisan ini, saya tidak ingin menyoroti sosok beliau beserta almarhum suaminya. Saya justru ingin menuliskan kegelisahan terhadap pemberitaan media yang "aneh" dan kebetulan, kabar duka dari beliau menjadi pemantiknya.

Sebenarnya berita duka beliau bukanlah pemantik satu-satunya dari kegelisahan saya terhadap media massa saat ini. Sebab, pada awal September lalu, saya juga sempat menuangkan hasil kristalisasi dari keresahan terhadap sistem pemberitaan yang sepertinya hanya fokus pada "click bait", tanpa mempertimbangkan esensi dan urgensi berita yang dikabarkan.

Hasil kristalisasi tersebut dapat dibaca dalam artikel berjudul Keadaan Memaksaku Waras di Negeri yang Sekarat, melalui tautan berikut:

Keadaan Memaksaku Waras di Negeri yang Sekarat

Secara garis besar, apa yang saya resahkan dalam artikel tersebut masih sama dengan pergumulan kali ini. Bedanya, dalam artikel tersebut, media condong menyoroti orientasi seksual seseorang yang notabene bukan urusan penting yang harus diketahui khalayak. Sedangkan pada tulisan ini, fokus saya tertuju pada media yang dengan tega membuka kembali cerita-cerita gelap yang seharusnya tidak layak lagi untuk diangkat. Apalagi dalam situasi ini, yang diangkat adalah dua korban kecelakaan yang telah dinyatakan meninggal dunia.

Saya paham betul, setiap jejak digital akan abadi. Apalagi jika si peninggal jejak adalah pesohor yang memiliki pengagum sekaligus pembenci yang setia. Namun, haruskah mengorek apa yang telah terlewati demi sebuah atensi dan rating dari sebuah tragedi?

Apakah jumlah viewer atau pembaca dalam setiap tajuk rencana lebih penting dari empati?

Mungkin jika direlevansikan dengan makna lagu "Dalam Hitungan" milik grup band .Feast, jumlah viewer serta pembaca konten memang jauh lebih penting dari kemanusiaan. Oleh sebab itu, sorotan terhadap preferensi seksual, masa lalu yang kelam atau apapun yang seharusnya masuk dalam ranah privasi, sekarang telah menjadi bahan utama yang sepertinya memang paling laris untuk dijadikan umpan atensi.

Sensasi lebih diminati daripada acara edukasi. Isu perihal pribadi dan ranah yang seharusnya haram dijamah, kini menjadi topik yang paling dinanti. Mengapa media massa kita menjadi seperti ini? Bukankah media yang paling mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, harusnya menyajikan hal-hal akurat yang urgensinya memang layak untuk disebarkan secara luas dan rinci? Tapi, kenapa yang tersebarkan kini adalah hal-hal yang akhirnya memantik kontroversi?

Apakah memang framing yang seperti ini adalah satu-satunya langkah yang bisa dijadikan oleh setiap media untuk bertahan dari pergeseran sistem penghimpunan informasi yang dilakukan oleh masyarakat? Atau, memang semua ini dilakukan agar tetap "cuan" untuk kepentingan internal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun