“Kalau Ibu, asal kamu bisa bahagia, bersama siapapun boleh.”
“Tapi, kalau bisa ya yang satu agama lah, yang satu suku lebih baik, kalau bisa sih yang satu pandangan biar kamu juga ga susah jalaninnya.”
Dua kalimat ini tidak terasa asing bukan? Ya, dua kalimat ini acap kali menjadi paradoks dalam kehidupan keluarga Indonesia. Sebagai negara dan bangsa yang sangat beragam, kita dihadapkan dengan multikulturalisme dalam setiap langkah kehidupan. Buka pintu, keluar rumah, kita sudah bertemu dengan banyak orang dari suku, agama, pemikiran bahkan pandangan politik yang berbeda. Heterogenitas merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan orang Indonesia.
Kita menerima itu sebagai sebuah hal yang wajar. Setiap hari bertemu, dan bahkan belajar istilah-istilah baru dari bahasa teman kita yang berbeda suku. Namun, kenapa ketika ada pilihan menikah lintas budaya, sebagian orang cenderung menolak hal tersebut? Dalam tahap mana heterogenitas dapat ditolerir oleh kita?
Ada yang menolerir heterogenitas hanya pada hal-hal yang bersifat eksteren saja. Ya, kita boleh bertemu, bercengkrama, bekerja, makan, beraktivitas bersama dengan orang yang berbeda dari kita (suku, ras, agama). Tapi, untuk urusan-urusan internal sebaiknya dilakukan dengan orang yang ‘sama’. Ada yang menaruh agama sebagai dinding, ada juga yang menaruh kesukuan sebagai batas pemisah, ada yang menaruh keduanya sekaligus.
Bukan sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai salah dan benar. Itu hanya sebuah cara manusia dalam mempertahankan identitan ke-aku-annya. Familiarity (keakraban) membawa kita pada rasa nyaman. Nyaman membawa kita tidak mau bergerak dari status quo yang ada. Nyaman membuat manusia cenderung sulit bergerak walau sebenarnya ada opsi lain yang lebih baik daripada status quo tersebut.
Mengelompokkan mana yang dapat ditolerir dan mana yang tidak dapat dimasuki oleh heterogenitas sosial ini, saya kategorikan sebagai paradoks dalam heterogenitas. Kita memilih dan memilah mana saja bentuk-bentuk heterogenitas yang boleh dan dapat memberikan kenyamanan. Mana juga yang tidak boleh dilanggar dan membuat kita cenderung tidak nyaman.
Setiap orang yang tinggal dalam kehidupan yang beragam dan multikulturalis, paradoks heterogenitas akan selalu muncul dan membawa kita dalam bias-bias tertentu. Stereotipe adalah salah satu contoh nyata dari bias-bias tersebut. Kalau orang dari suku tertentu, agama tertentu, dan identitas tertentu akan cenderung memiliki sifat tertentu. Tapi, si bapak/ibu A yang dari agama, suku dan ras yang tertentu itu, tidak demikian. Maka muncul dalam benak kita “Oh, kalau bapak/itu ibu berbeda”. Khusus hanya bapak/ibu yang berbeda itu, kita telah bias dalam dalam heterogenitas yang kita bangun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI