Apa itu Reog Ponorogo?
Reog adalah seni khas daerah Ponorogo, Jawa Timur yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu dan masih dimainkan oleh masyarakat Ponorogo hingga saat ini. Kota Ponorogo dianggap sebagai rumah bagi kesenian Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi dengan sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil saat pertunjukan Reog. Reog, salah satu kebudayaan lokal di Indonesia, memiliki hubungan yang kuat dengan hal-hal yang berbau mistis dan ilmu kebatinan. Dengan begitu, Reog Ponorogo adalah upacara untuk meminta perlindungan kepada kekuatan gaib lokal. Dipercaya bahwa singa dan merak, yang banyak ditemukan di hutan Ponorogo adalah simbol kekuatan tersebut.
Reog Ponorogo sendiri merupakan warisan budaya lisan (folklor) yang artinya budaya ini berkembang secara turun-menurun lewat cerita rakyat, tanpa ada catatan tertulis resmi. Berkaitan dengan itu, maka terdapat lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog Ponorogo. Akan tetapi, terdapat salah satu cerita yang paling terkenal yaitu cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Ratu.
Sejarah Reog Ponorogo berasal dari cerita tentang Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan di bawah pemerintahan Bhre Kertabhumi, raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu khawatir bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan runtuh karena pengaruh kuat dari istri raja Majapahit yang berasal dari Cina dan pemerintahan korup raja. Dia kemudian meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan sambil mengajar anak-anak muda tentang seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan. Dengan harapan agar anak-anak ini akan menjadi bibit dari kebangkitan Kerajaan Majapahit. Pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya, digunakan oleh Ki Ageng Kutu untuk menyampaikan pesan politisnya karena dia sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan. Ki Ageng Kutu menggunakan kepopuleran pagelaran Reog untuk mendorong perlawanan dari masyarakat lokal.
Pertunjukkan ini biasanya dilakukan pada malam pertama Suro (grebeg Suro), malam bulan purnama, ulang tahun Ponorogo, hari-hari besar Nasional, penyambutan tamu negara, pernikahan, dan khitanan. Dalam pertunjukan Reog, ada topeng berbentuk kepala singa yang disebut sebagai "Singo Barong", raja hutan yang merupakan representasi untuk Kertabhumi. Di atasnya, bulu-bulu merak membentuk kipas raksasa, yang menunjukkan kekuatan yang dipegang oleh rekan Cinanya atas segala gerakannya. Kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit diwakili oleh Jathilan, yang dimainkan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kuda, sedangkan kekuatan warok diwakili oleh badut merah, representasi Ki Ageng Kutu, yang hanya menggunakan giginya untuk menopang berat topeng Singo Barong yang mencapai lebih dari 50 kg.Â
Menguak Kontroversi Kepemilikan Budaya Reog Ponorogo
Pertunjukan Reog Ponorogo tidak hanya memukau penonton dengan keunikan dan kekuatannya, tetapi juga menjadi simbol identitas budaya Indonesia yang sangat penting, khususnya di Ponorogo. Sayangnya, keberadaan seni tradisional ini sempat menghadapi tantangan berupa klaim kepemilikan budaya dari negara tetangga yaitu Malaysia. Konflik klaim ini menjadi contoh kompleks mengenai isu hak kekayaan intelektual (HKI) yang terjadi lintas negara. Konflik ini mencerminkan bagaimana budaya yang melewati batas geografis dapat memicu pertikaian hak atas kebudayaan yang terjadi secara sepihak, terutama dalam era globalisasi.
Awal mula kontroversi terkait kesenian Reog Ponorogo di Indonesia terjadi ketika kesenian serupa, yaitu Tari Barongan ditampilkan dalam kampanye pariwisata "Visit Malaysia 2007" dengan tagline "Malaysia Truly Asia". Isu ini muncul karena tari tersebut memiliki penampilan yang sangat mirip dengan Tari Reog Ponorogo, mulai dari gerak tari khas yang diiringi kostum hingga musik yang digunakan. Tak hanya itu, mereka juga mengubah bentuk asli Reog yang biasanya menampilkan sosok Singa Barong menjadi seekor naga yang mirip dengan Barongsai, sebuah kesenian tradisional Tiongkok. Bahkan, bagian Singa Barong atau Dadak Merak yang biasanya diberikan penandaan khusus bertuliskan "Reog" Â sebagai ikon penting dalam tarian Reog Ponorogo diganti dengan kata "Malaysia" dalam promosi tersebut.
Di sisi lain, Malaysia mengklaim bahwa Tari Barongan merupakan warisan budaya yang dilestarikan di beberapa daerah, seperti Batu Pahat, Johor, dan Selangor. Klaim ini diperkuat dengan fakta sejarah yaitu adanya migrasi masyarakat Ponorogo ke Malaysia pada masa lalu dengan anggapan bahwa mereka menetap dan memperkenalkan budaya Reog agar kesenian ini semakin populer di negara lain.
Padahal, pada tahun 2004, tarian Reog Ponorogo telah diakui sebagai Hak Cipta Milik Kabupaten Ponorogo dengan nomor 0263377, yang dikeluarkan pada 11 Februari 2004. Pemerintah Kabupaten Ponorogo juga membuat buku yang disebut sebagai "Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa", yang mencakup daftar lengkap alat-alat dan gerakan yang digunakan dalam tarian Reog. Pemerintah daerah Ponorogo pun mendesak pemerintah pusat agar segera menyelesaikan kasus tersebut secara hukum.