Mohon tunggu...
Afi Sulthoni
Afi Sulthoni Mohon Tunggu... Guru Pembelajar

Guru Pengajar di SMAN Candipuro sampai saat ini. Telah menyelesaikan buku pertama berjudul Metamorfosis Guru Out of The Box dan tengah menyelesaikan proyek buku kedua.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna Izin, Ridha, dan Kehendak

5 April 2018   12:19 Diperbarui: 5 April 2018   12:34 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seringkali dalam kehidupan ini, kita mendengar ketiga istilah tersebut. Entah sudah yang keberapa kalinya, tentu dengan beragam maksud dan tujuan. Semua itu merujuk pada ketidakmampuan, keberharapan, dan keberkahan dalam hidup manusia kepada pencipta-Nya. Pembahasan yang menarik apabila dilihat dalam konteks spiritual/semangat keberagamaan.

Izin

Secara harfiah izin berarti pernyataan mengabulkan; persetujuan membolehkan. Sebagai contoh: Semoga Allah mengizinkan. Pernyataan izin ini menyiratkan, bahwa adanya kehendak diri secara utuh untuk mendapat persetujuan membolehkan.

Tahap ini adalah tahap pertama atau yang paling rendah dalam tingkatan spiritual. Sebab pada konteks ini, manusia secara penuh memposisikan diri dengan keakuannya. Bahwa Ia sebagai manusia secara sadar menegaskan keberadaan diri dengan berbagai tujuan dan harapan.

Rida

Secara harfiah rida adalah rela. Sebagai contoh: Semoga Allah meridai. Rida dalam hal ini dimaknai dengan kompromi batas-batas kemanusiaan dengan konteks keridaan-Nya. Pada titik ini, bisa dikatakan kondisi fifty-fifty, di satu sisi terdapat penegasan keberadaan diri dan disisi lain dikompromikan dengan perkenan atau kerelaan Allah.

Menggapai rida adalah tingkatan yang kedua dalam pandangan spiritual. Pada tahap ini manusia telah memberi ruang kepada Allah untuk memberi perkenannya atau memberi keberkahan dalam kehidupannya.

Kehendak

Kehendak secara harfiah dimaknai dengan kemauan. Sebagai contoh: Semua itu sudah menjadi Kehendak-Nya, terimalah dengan lapang dada. Pada konteks ini kehendak Allah yang menguasai dan menentukan segala sesuatu. Sedang kehendak manusia sudah tidak memiliki kekuatan atau apapun, karenanya manusia harus bisa menerima semua yang telah ditentukan dengan lapang dada.

Menjalankan kehidupan sesuai dengan kehendak-Nya adalah tingkatan yang paling tinggi dalam pandangan spiritual. Mengingat bahwa pada titik ini, manusia sudah meniadakan keberadaan dirinya. Sehingga tepat apabila ada ungkapan, "Aku mencintai Allah melebihi cintaku kepada dunia dan segala isinya".

Manusia yang telah mencapai tingkatan ini dapat dipastikan seluruh dimensi kehidupannya telah keluar dari batas kewajaran sebagai manusia pada umumnya. Sebab, kehendak Allah pasti berbeda dan seringkali berlawanan dengan kehendak manusia. Namun untuk bisa hidup secara wajar, maka tidaklah memungkinkan untuk terus-menerus dalam kondisi yang demikian. Yang paling tepat adalah pada titik-titik tertentu dalam kesehariannya, manusia perlu menyatukan diri dengan Kehendak-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun