Giyarto berpendapat, angin monsun Australia yang terbawa massa udara memiliki kecenderungan kering dingin. Walaupun cuaca pada siang hari terlihat cerah, suhu di udara lebih dingin dari biasanya, hal ini disebabkan uap air tidak cukup untuk menahan panas yang berada di atmosfer.
"Dibuktikan dengan titik embun yang cukup rendah, berkisar 15 sampai 17 derajat. Artinya, kelembapan sangat rendah sehingga udara terasa kering dan dingin," ujarnya.
Beliau menjelaskan kondisi tersebut adalah hal yang lumrah terjadi pada saat musim kemarau. Masyarakat dihimbau untuk memperhatikan fenomena lanjutan. Salah satu diantaranya yaitu kabut pagi. Hal tersebut juga termasuk adanya embun upas yang seringkali muncul di wilayah dataran tinggi, seperti Dieng.
"Kondisi ini akan berlangsung setidaknya dari dasarian awal Juli hingga Agustus. Di sejumlah wilayah seperti Solo Raya, puncak kemarau biasanya terjadi pada Agustus," ujar Giyarto
Walau sedang berjalan musim kemarau, tidak terelakkan bahwa hujan mungkin akan turun. Giyarto menyebutkan di beberapa wilayah tetap ada potensi hujan, utamanya dikarenakan adanya dinamika cuaca lokal.
"Hujan masih bisa terjadi, walaupun ringan dan sebentar. Biasanya dipengaruhi kondisi lokal harian. Contohnya di kawasan Pegunungan tengah bagian utara seperti Pekalongan dan Batang, itu masih berpotensi hujan meskipun tidak setiap hari," ujarnya.
Secara lebih lanjut, masyarakat harus waspada terhadap kemungkinan kekeringan pada kemarau ini, utamanya pada beberapa daerah yang pada musim kemarau mempunyai riwayat kekeringan.
"Kemarau tahun ini disertai peningkatan radiasi matahari. Tingkat kemudahan terjadinya kebakaran lahan dan hutan cukup tinggi. Kami mengimbau masyarakat agar berhati-hati saat melakukan aktivitas pembakaran, harus dalam pengawasan," tuturnya. (wsn/jpnn)
Mengenal fenomena bediding
Dikutip dari website kumparan.com, fenomena bediding diartikan sebagai suhu dingin yang terasa meningkat baik di waktu malam ataupun pagi hari, khususnya di pulau Jawa dan sekitarnya. Istilah ini diambil dari bahasa Jawa, yaitu "bediding" atau "bedhidhing" yang berarti dingin atau menggigil.