Aku akan bunuh diri.
Aku bisa mendengar keramaian pasar dari sini. Suaranya seperti kerumunan lalat. Orang-orang berjalan dengan warna yang berbeda-beda sesuai pakaian dan barang bawaan mereka.
Gedung-gedung kini tingginya sama denganku. Tetapi orang-orang di dalam gedung itu terlalu sibuk untuk melihatku. Tidak ada yang menarik dari menara air yang menyebabkan mereka akan melihat ke arahku. Kalaupun ada, aku rasa mereka mengira aku adalah teknisi yang akan membenahi menara air. Memang, akhir-akhir ini beberapa tempat di daerah ini mengalami kekurangan air. Masuk akal.
Aku juga bisa melihat dengan jarak pandang yang lebih luas sekarang. Bahkan, rumahku dan tetanggaku. Oh, tetanggaku. Aku tidak dapat menahan pikiranku untuk tidak memikirkan dia. Aku masih ingin menemuinya, andai aku bisa. Tetapi aku akan bunuh diri.
***
“Bundu, Bundu! Lihatlah! Aku bisa menyelesaikan permainan ini dengan cepat! Aku mendapat, uuh…” ucapnya dengan semangat dan berakhir dengan terbata-bata.
“High score, kau mendapatkan high score.” tambahku sambil menyunggingkan senyum.
“Ah, ya! Aku hebat, kan?” ia menimpali dengan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Kini ia kembali beradu dengan gadgetku.
Kian, ia begitu asik memainkan permainan barunya. Begitu juga aku yang asik menatapnya. Matanya berkaca-kaca, seperti ingin menangis, tapi ia bahagia. Matanya memang indah.
“Bundu, terima kasih sudah menjaga Kian hari ini. Maafkan aku terlalu merepotkanmu, kau pasti sibuk sekali. Kian, ayo pulang. kau tidak boleh tidur larut malam.” Suara dari sampingku membuyarkanku dari lamunan.
Aku hanya bisa tersenyum saat Reina, ibu Kian, datang menjemput Kian. Aku selalu bersimpati pada mereka. Reina ditinggalkan oleh lelaki yang menanamkan benih Kian di rahimnya. Sejak itu, aku dan Reina menjadi dekat. Ia bahkan pernah mengungkapkan perasaannya padaku. Tapi aku tak bisa. Ada hal lain yang menjadikanku cukup menjadi kawannya.
Reina mengambil gadget yang tengah dimainkan Kian dan mengembalikannya padaku. Lalu ia menarik tangan Kian yang ingin menyalamiku. Ia merebut Kian dariku. Kian tidak menolak, ia selalu patuh pada ibunya. Kian melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Rambut hitam Kian yang panjang tertiup angin hingga aromanya tercium olehku. Aah.. stroberi, baunya nikmat. Andai aku bisa mencium bau ini setiap waktu.
Malam ini aku memimpikan Kian. Ia mengenakan gaun warna biru kesukaannya. Kami berdua tengah berada di taman. Kian berbicara denganku layaknya orang dewasa dalam tubuh gadis berusia lima tahun. Lalu ia menangis dan memelukku begitu erat. Matanya menatapku seakan menginginkan sesuatu.
***
“Gila! Bundu, kau sudah gila!” teriak Reina. “Apa yang kau inginkan dari anakku? Ia baru lima tahun! Kau benar-benar sudah gila!”
Aku terdiam melihat Reina yang tengah mondar-mandir di depanku. Ia seakan mencari sesuatu untuk memecahkan kepalaku.
“Kau harus pergi sejauh mungkin,” ucap Reina.
“Jauh yang kau maksud adalah mati, bukan?”
“Ya, mati.”
“Tapi aku juga tidak mengerti. Kau tidak bisa mengobatiku. Aku sudah hampir mati bahkan setiap kali aku menatap Kian..”
“Hentikan! Jangan sebut namanya! Kau harus pergi.”
“Aku tahu, aku minta maaf,”
“Tidak, aku tidak memaafkanmu. Ia baru berusia lima tahun dan kau sudah mengambil harta berharganya. Dia sudah tidak perawan di usia lima tahun! Kau bodoh dan gila! Pantaslah namamu Bundu, pandir!”
Aku tahu saat seperti ini akan terjadi. Saat aku sudah tidak dapat menahan naluri alamiahku pada gadis kecil itu, dan semuanya akan berakhir. Rasanya selama ini aku menanti takdir buruk, dan takdir itu terjadi hari ini. Aku sudah menodai Kianku tersayang. Aku melukainya dan aku pantas untuk mati.
“Reina, aku tahu ini saatnya untukku menghabisi diriku sendiri. Tapi kamu harus mengerti, aku mencintai anakmu seperti halnya kamu mencintaiku. Suatu hal yang alamiah, dan aku tidak bisa menolaknya. Aku sudah mencoba, obat, psikiater, gereja, Tuhan, tidak ada yang bisa menolongku. Inilah takdirku, mati saat ini.” aku menjelaskan dengan nada pasrah.
“Dia bukan bagian dari takdirmu. Kau harus pergi, bukan berarti mati. Aku sudah mengerti keadaanmu. Sekarang kau harus mengerti keadaanku dan anakku. Dia bukan objek seksualmu. Kian adalah manusia merdeka yang telah memilih agar kau tidak ada lagi di hidupnya.” Reina menjelaskan dengan terbata-bata diselingi tangis, lalu ia pergi. Aku tahu itu adalah kata-kata terakhir yang akan aku dengar darinya.
***
Sekarang aku berada pada dua sentimeter sebelum kematian. Aku tahu ada cara lain untuk menyelamatkan Kian. Tapi dengan cara inilah tidak akan ada Kian berikutnya.
Aku harus bunuh diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI