Lingkungan olahraga modern saat ini sedang menghadapi berbagai dinamika yang kompleks. Kemajuan dalam industri olahraga tentunya membawa semangat kompetisi, profesionalisme, dan prestasi. Namun di sisi lain, komersialisasi berlebihan, fanatisme, serta pelanggaran etika kerap mencederai makna sejati sportivitas. Pada situasi demikan sebenarnya bangsa Indonesia memiliki panduan moral yang kokoh untuk menata ulang arah etika olahraga, yakni Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, bukan sekadar simbol ideologis, tetapi juga falsafah yang dapat dioperasionalkan dalam menuntun perilaku, kebijakan, dan budaya dalam setiap aspek olahraga.
Secara yuridis, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, meyatakan bahwa penyelenggaraan keolahragaan harus didasarkan pada Pancasila serta menjunjung tinggi nilai sportivitas, kemanusiaan, norma kepatutan, dan kesusilaan. Ketentuan ini mengandung makna bahwa etika olahraga bukan hanya menjadi tanggung jawab atlet, tetapi juga pelatih, ofisial, pengurus, penonton, bahkan media dan sponsor. Dalam hal ini, undang-undang berfungsi sebagai instrumen yang mewujudkan nilai-nilai Pancasila ke dalam praktik sosial olahraga yang konkret dan terukur.
Pada tingkatan global, nilai-nilai universal dalam olahraga juga mencerminkan semangat yang sejalan dengan Pancasila. Dalam Gerakan Olimpiade Internasional yang menekankan tiga nilai utama, yaitu excellence, respect, dan friendship. Ketiga prinsip ini beresonansi dengan Sila Kedua dan Sila Ketiga Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan “Persatuan Indonesia”. Misalnya pada nilai “respect”, yang bermakna untuk menuntut penghormatan terhadap lawan, wasit, dan penonton, sedangkan “friendship” menumbuhkan solidaritas antar semua pihak. Hal ini memperlihatkan bahwa sportivitas sejati tidak hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang menghormati martabat manusia dan memperkuat persaudaraan global.
Pada International Charter of Physical Education, Physical Activity, and Sport (2015) UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) menetapkan bahwa olahraga adalah hak asasi manusia. UNESCO juga menuntut standar etika yang menolak segala bentuk kecurangan, kekerasan, serta doping. Prinsip ini tentunya sejalan dengan Sila Kelima Pancasila yakni, ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Dalam lingkungan olahraga sila ini bermakna untuk menuntut sistem olahraga yang adil, transparan, dan inklusif. Artinya, setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan berprestasi tanpa diskriminasi sosial maupun ekonomi.
Pada konteks olahraga, setiap sila dalam Pancasila memilki makna serta tafsirannya masing-masing. Sila Pertama yakni ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang berarti menuntun setiap insan olahraga untuk menjunjung integritas, kejujuran, dan rasa tanggung jawab. Sila Kedua, ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, bermakna mendorong perlakuan manusiawi terhadap atlet, termasuk kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan mental mereka. Sila Ketiga, ”Persatuan Indonesia”, menegaskan pentingnya persatuan antarsuporter, antarklub, dan antardaerah agar semangat kebangsaan tidak tergantikan oleh fanatisme destruktif. Sila Keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan", mengingatkan agar setiap keputusan dalam dunia olahraga diambil melalui musyawarah yang adil dan terbuka, baik dalam penentuan kebijakan, seleksi atlet, maupun penegakan disiplin. Sila Kelima, ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menuntut pemerataan akses terhadap fasilitas olahraga dan keadilan dalam distribusi dana pembinaan.
Implementasi dari nilai-nilai Pancasila juga dapat dipelajari dari praktik internasional. FIFA (Fédération Internationale de Football Association) misalnya, yang telah lama mengampanyekan konsep Fair Play sebagai etos utama. Konsep Fair Play berarti bermain untuk menang dengan cara yang benar, menghormati aturan dan lawan, serta menolak diskriminasi. Konsep ini dapat diintegrasikan ke dalam sistem pembinaan olahraga Indonesia, mulai dari kurikulum olahraga di sekolah hingga pelatihan profesional. Dengan demikian, etika dan moral olahraga tidak hanya diajarkan, tetapi integrasikan sejak dini. Walaupun dalam kenyataannya, tantangan di lapangan saat ini masih berat. Kasus manipulasi skor (match fixing) di liga sepak bola nasional dan praktik doping menunjukkan bahwa nilai sportivitas belum sepenuhnya terinternalisasi. Beberapa kasus telah ditangani secara hukum, tetapi pengawasan dan penegakan masih harus diperkuat. Di sisi lain, kemajuan juga mulai tampak, Indonesia melalui lembaga IADO (Indonesian Anti-Doping Organization) telah kembali diakui kepatuhannya oleh WADA pada Maret 2024, setelah sebelumnya sempat mendapat sanksi. Pengakuan tersebut menjadi sinyal positif bahwa sistem olahraga Indonesia mulai bergerak ke arah tata kelola yang bersih, profesional, dan sesuai standar global.
Ada beberapa tindakan startegis yang perlu dilakukan untuk menjaga spirit sportivitas. Pertama, nilai-nilai Pancasila harus diajarkan dalam kurikulum etika olahraga di semua jenjang pendidikan dan kepelatihan. Kedua, menyinkronkan regulasi federasi olahraga dengan UU Keolahragaan serta memenuhi standar etika global yang ditetapkan UNESCO, IOC, dan WADA. Ketiga, memastikan bahwa semua keputusan yang berkaitan dengan olahraga menjadi lebih transparan dan menarik perhatian publik. Keempat, mempertimbangkan kesejahteraan atlet. Ini melibatkan kontrak yang adil, jaminan sosial, dan dukungan psikologis. Terakhir, menciptakan budaya suporter yang yang beradab, berpikiran maju, dan menghargai satu sama lain. Pancasila telah memberikan arah moral, hukum menyediakan kerangka normatif, dan standar global menawarkan pedoman teknis. Ketika ketiganya disatukan dalam sistem pembinaan, kebijakan, dan budaya olahraga, sportivitas bukan lagi sekadar utopia, tetapi kebiasaan yang melekat dalam karakter bangsa. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi teladan dunia bahwa prestasi sejati tidak lahir dari ambisi semata, tetapi dari etika, keadilan, dan kemanusiaan yang berakar pada nilai-nilai Pancasila.
Olahraga bukan hanya tempat untuk berprestasi, tetapi juga tempat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur bangsa. Pancasila berfungsi sebagai falsafah etika yang mendorong perilaku insan olahraga untuk menjunjung tinggi kejujuran, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Nilai-nilai ini diimplementasikan dalam setiap aspek penyelenggaraan olahraga melalui prinsip sportivitas, fair play, dan keadilan. Dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar moral, dunia olahraga di Indonesia menjadi lebih baik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI