Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaratkan Indonesia?

11 Juli 2018   06:44 Diperbarui: 11 Juli 2018   07:04 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://puncakhati.blogspot.com

Indonesia negara kaya akan budaya, alam dan wilayah kepulauan semenanjung nusantara. Terbersit harapan dari warganya supaya menjadi negara makmur dan maju karena setumpuk kelebihan yang tidak dimiliki oleh negara lainnya. 

Tak heran banyak negara yang melirik Indonesia sebagai objek primadona para wisatawan, pelaku bisnis, dsb. Masyarakatnya mengemban amanah untuk menjaga, membuatnya menjadi negara adidaya tanpa terlalu banyak bergantung kepada negara-negara besar tandingannya.

Era globalisasi semakin berkembang, tentu hal ini dapat menjadi beban tersendiri dalam menjaga keutuhan nusantara. Semangat nasionalisme terkadang selalu digemborkan agar segala sesuatu yang masuk dan berupaya melunturkan warisan asli nusantara pantasnya ditolak. 

Wajar jika semangat nenek moyang dan para pejuang bangsa yang masih melekat justru menolak adanya pergeseran identitas Indonesia baik berbau ke-timur-an atau ke-barat-an.

Sebenarnya tulisan ini terpancing oleh pembahasan cukup hangat dari cuitan seorang professor tentang meng-Indonesia-kan Islam. Pasalnya, banyak yang merespon dengan berbagai penafsiran sehingga menimbulkan pro kotra khususnya metode dakwah yang disinggung oleh Mahfud MD. 

Menurutnya, mengindonesiakan Islam artinya menyebarkan Islam secara damai melalui relung-relung budaya serta akulturasi melalui proses saling memberi dan menerima. Sedangkan mengislamkan Indonesia lebih terkesan memaksakan dan kooperatif sehingga berwatak eksklusivisme. (tribunnews.com 22/4/2017)

Pesan mengindonesiakan selayaknya dimaknai dengan bijak, karena parameter Indonesia saat ini belum tentu sesuai dengan yang seharusnya dianalogikan. Mengakulturasikan Indonesia dengan Islam adalah kemurnian dari sisi sejarah nusantara, namun kurang disoroti bahwa Indonesia sendiri sudah banyak terakulturasi dengan budaya dan pemikiran barat. Terkadang kita kurang fair jika hanya menjadikan suatu objek sebagai bahan penilaian namun mengabaikan objek lain yang sama pengaruhnya.

Tentu membaca judulnya saja sudah pasti banyak yang tidak setuju. Namun itulah realitas yang dicerminkan kepada masyarakat saat ini namun kurang disadari, Seolah penyesuaian nilai agama yang berasal dari luar langsung ditolak sekalipun itu baik, namun nilai selain agama yang dipandang maju di luar justru tak dihiraukan, kadang bertentangan dengan norma kemanusia namun dianggap sebuah kebanggaan.  

Dalam standar pendidikan saja kita samar menggambarkan bagaimana nilai luhur keilmuan bangsa yang dibawa asli nusantara, memilih pola barat dalam menata pola pendidikan, mungkin karena kompetisi antar budaya dan beda negara semakin bersaing. Output yang diharapkan pun masih belum maksimal, justru sebagian besar lulusan Indonesia lebih bergantung kepada negara lainnya. Akhirnya lulusan Indonesia lebih tertarik belajar dan bekerja di luar negeri khususnya barat.

Sejak awal tidak adil menilai konteks agama sebagai kewaspadaan moral. Makna pendidikan agama Islam misalnya, yang seharusnya diramu dari wilayah timur sana justru disaring karena tidak cocok diajarkan kepada masyarakat Indonesia. 

Doktrin teologis-ideologis (jihad/qital, kati syahid, hijrah, amar ma'ruf nahi munkar) sebagai penyebab psikologis orang anti terhadap NKRI, namun doktrin ideologi neo-konservatif atas kekuasaan dan dominasi Amerika sebagai propaganda yang ditutupi oleh peran orientalisme dengan alat "fundamentalisme Islam".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun