Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konflik Penafsiran Radikalisme dan Narasi Ancaman Nyata Negara

15 Oktober 2017   19:26 Diperbarui: 15 Oktober 2017   21:16 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Era perang melawan terorisme sudah mulai memanas, genderang opini setelah peristiwa 11 September 2001 (Teror 11/9) di Gedung WTC berhaluan menjadi War on Terrorism. Islam yang disebut-sebut sebagai pelaku utama dibalik ancaman bagi Warga Washington DC, Amerika Serikat, dicap agama keras dan intoleran karena ajaran jihad dan politik kenegaraannya. Hingga saat ini peristiwa itu menjadi gerbang pembuka bagi pemikiran manusia di dunia dalam mempersepsikan orang Islam dan ajarannya.

Tak terkecuali dampak itu menyebar hingga ke Indonesia, akhirnya muncul 'oknum' muslim yang melakukan ancaman kepada pemerintah akan penyerangan hingga peristiwa bom bunuh diri bergantian dari pelaku yang satu kepada yang lainnya. Meskipun tidak seluruh pelakunya tergabung dalam jaringan yang sama, namun penyematan label teroris dan radikalis mulai tampak. Mereka yang memiliki aktivitas mirip dan pemahan seagama yang serupa terpaksa harus diuduh sebagai 'kroni'-nya. Isu ini rupanya direspon serius oleh pemerintah Indonesia sebagai ancaman terhadap negara melalui penyebaran paham radikal.

Baru kemarin Rabu (4/10) di Kampus saya UIN Bandung diselenggarakan Kuliah Umum bertemakan "Upaya Penangkalan Paham Radikalisme" dan disampaikan oleh Kapolda Jawa Barat Irjen Pol. Drs. Agung Budi Maryoto, M.Si. Tema yang sangat hangat diperbincangkan oleh kalangan akademis, umumnya di berbagai kampus di kota besar. Seperti kondisi genting yang memaksa sehingga isu menangkal radikalisme dilakukan serentak di berbagai lingkungan akademik. Rupanya sikap ini diambil sebagai langkah terselenggaranya isu tuntutan mahasiswa seluruh Indonesia pada tanggal 28 Oktober nanti.

Menurut penulis, isu hangat ini dinilai mengandung unsur politis karena berkaitan dengan pertahanan kekuasaan. Jika secara politis maka tidak bisa kita mengambil cara pandang yang ekslusif dan tidak lepas dari unsur kepentingan. Karenanya patut kita analisis apakah radikalisme benar-benar ada? Wujudnya seperti apa? Jangan sampai opini buatan yang digunakan oleh pihak tertentu untuk mematikan musuh politik yang sarat kepentingan. Jalur seperti apa yang mereka sebut 'radikalis' mengancam keutuhan negara hingga alur mempertahankan kekuasaan yang diinginkan di titik akhir pertarungan pemikiran.

Berawal dari pengertian radikalisme, menurut KBBI artinya, paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik. Berakhiran -isme yang berarti berbasis pemikiran.

Di Indonesia landasan pemahaman harus dilandasi dengan asas ketuhanan, lalu dikecualikan dengan segala sesuatu yang meniadakan aspek ketuhanan (Sila ke-1). Bhinneka jadi ciri khas bangsa menghargai perbedaan, namun Indonesia sebagai negara ketuhanan tidak memberikan ruang bagi anti-tuhan. Karenanya wajar jika banyak aliran di Indonesia yang saling kritik atas kesesatannya karena perbedaan tuhan, seperti Islam dalam kitab sucinya yang mengkritik konsep trinitas (Qs. 5: 73, Qs. 4:171). Terkadang berbeda aliran menjadi pemicu perang pemikiran, seperti MUI yang menghimbau kewaspadaan kemungkinan beredarnya kelompok syiah ekstrim, namun secara legalitas mereka tidak dilarang hidup di Indonesia.

Diskursus pemikiran tentunya menjadi polemik tersendiri. Seperti pemikiran sosialisme-marxisme yang menjadi ideologi PKI, salah satu partai terlarang di Indonesia, faktanya buku yang menjelaskan pemikiran tersebut dengan bebas tersebar di banyak toko buku. Jika di Kampus UIN ada jurusan Studi Agama-agama maka sah-sah saja ketika menilai pemikiran beda agama. Bahkan di beberapa kampus bisa jadi sah saja mengkaji pemikiran dan mengajarkan paham marxis anti-tuhan kepada mahasiswa. Artinya upaya penangkalan penyebaran pemikiran yang secara filosofis terlarang di Indonesia saja masih dikerdilkan. Sebab mengkaji pemikiran tidak lantas menjadi penganut, tapi resikonya jalan keanggotaan terbuka lebar bagi mereka yang sudah mengkajinya. Jadi, konflik pemikiran harus kita nilai sebagai diskursus keilmuan, adapun pengaruh terhadap perilaku seseorang merupakan faktor lain yang mendorong mereka melakukannya. Kritik dan pengembangan pemikiran menjadi hal biasa dalam lingkungan akademik.

Pertanyaannya, dimanakah letak pemikiran radikal harus diwaspadai? Tergantung penilaian masing-masing. Sebab aspek perubahan dan pembaruan sosial politik jika ditempatkan dalam kondisi failed state maka hal itu dibutuhkan. Negara dalam bentuk keterjajahannya akan menuntut kebebasan berupa perubahan drastis, hanya saja cara kekerasan yang mereka lakukan harus sesuai tempatnya.

Di tahun 1918 dalam masa penjajahan berkembang tuduhan apa yang disebut sebagai "Radicale Concentratie" terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Bahkan pada 20 November 1945 koran digital The New York Times mengabarkan berita dengan judul "Moslem Fanatics Fight in Surabaya" karena kejadian 10 November saat warga muslim berjuang melawan Inggris di Surabaya hingga dikenal sebagai Hari Pahlawan. Sejak dulu cap radikal, fanatik, dan militan memang berlaku bagi mereka yang melawan keadaan karena tekanan kondisi yang tidak ideal.

Namun saat ini cap radikal justru disematkan kepada muslim yang menginginkan perubahan. Dalam buku Islam: The Straight Path ditulis oleh John L. Esposito menjelaskan bagaimana pandangan 'Islam Radikal' itu. Seperti cara pandang agama yang komprehensif dan tidak ada pemisah antara politk dan agama, memerangi ideologi sekuler apalagi komunisme anti-tuhan, mereka yang berslogan 'kembali kepada Islam', atau mereka yang mengusahakan sebuah kelompok kuat dalam dakwah jama'ah untuk menerapkan Islam. Jika ciri-ciri tersebut sejauh ini dijadikan tolak ukur radikal dalam beragama, bagaimana dengan radikal bagi agama yang lain? Sebab tidak ada yang salah dalam cara pandang Islam mendasar atau fundamental (tauhid).

Hanya saja citra itu dirusak oleh sekelompok oknum yang menggunakan jalur kekerasan dalam aktivitasnya. Mereka cenderung lebih mendekati ekstrimisme meskipun sama-sama berpikir radikal. Namun tidak adil jika menyematkan sikap ekstrimisme dalam menuduh Islam radikal sebagai paham kekerasan yang berlebihan. Akhirnya dibuat upaya deradikalisasi yang konotasinya hanya terkait aksi terorisme oleh pelaku muslim. Pergeseran makna ini tentunya harus dikontekstualisasikan dalam realita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun