Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Intinya: Jangan Lupa Nyoblos!

16 April 2019   00:27 Diperbarui: 18 April 2019   11:15 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin ini terdengar aneh, tapi hingga saat ini saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk menentukan pilihan (bukan berarti golput, ya). Rasanya nggak adil, jika kita memilih dan menolak untuk memilih karena alasan-alasan yang terkesan provokatif, ikutan orang lain, tergiring opininya karena gembar-gembor media, jadi nggak dari hati.

Misalnya, nih, ada orang yang memilih 01 karena ada Ulama besar, atau nggak memilih 01 karena katanya disetiri "banteng". Bisa juga memilih 02 karena katanya banyak didukung Asatidz, atau nggak memilih 02 karena kurang melek data dan ini-itu dannn sebagainya.

Belum lagi jika memilih karena mengatasnamakan satu agama. Diri ini yang masih sangat awam malah kasihan sama pemeluk agama lain.

Padahal, Indonesia bukan milik muslimin wal muslimat saja. Piye? Pola pikir saya yang masih keliru apa gimana? Rasanya dari kemarin cuma pingin nyanyi lagunya Fiersa Besari yg bagian: tolong yakinkan saja raguku~ Oke. Tidak penting.

Saya pun mencoba untuk lebih intens membaca informasi di beberapa media yang sering menjadi rekomendasi dosen saya untuk mengerjakan tugas kuliah, seperti Tirto, Kumparan, Kompas, dan sebagainya. Yaaa... Meski nggak terlalu paham sama dunia perpolitikan, sih.

Debat perdana hingga akhir juga saya tonton semua bersama Bapak, siapa tahu tiba-tiba ada hal-hal yang membuat jatuh hati gitu. Abisnya, semua punya banyak sisi positif yang sama-sama ditujukan demi kebaikan Indonesia juga. Jadi heran kenapa justru orang-orang di luar sana malah sibuk saling menjelekkan tandingannya.

Kalau masalah program keduanya, itu bukan ranah saya untuk menilai dan mengkritisi . Sedikit-banyak, saya hanya mengagumi keduanya lewat prestasi dan track record nya. Sorry to say, tapi bukankah memikirkan keburukan orang lain (apalagi yang tidak kita kenal dengan baik) adalah hal yang cukup sia-sia untuk dilakukan? Lalu, jika kita ikut-ikutan menghujat, apakah kita punya kesempatan untuk meminta maaf kepada mereka? Kemungkinannya keciiil sekali.

Untuk berbagai video dan broadcast yang kini sering disebar di media sosial semacam Whatsapp, Line, dan sebagainya juga hampir tak pernah saya hiraukan. In case, sumbernya sering nggak jelas dan kadang, maaf, berlebihan.

Paling malas ya kalau ada spam video "Ustadz fulan mendukung capres nomor sekian.. Auto berkah coy" atau "Awas! Capres nomor sekian adalah antek antek lalalalilili".

Bahkan yang paling menjengkelkan lagi, masih adaaaaa saja yang ngotot "2019 GANTI KHILAFAH AJA!". Wahai akhi dan ukhti sekalian, sudah cukup. Nggak gitu cara mainnya...

Dan tadi pas lagi family time, Bapakku tetiba nyeletuk seperti ini "... ya kalau semuanya baik, pilih yg paling banyak kebaikannya lah. Kalau semuanya buruk, pilih ae yg paling sedikit keburukannya. Gampang tho" "Lha iya, pak. Baik-buruknya itu lho tau darimana? Level aku ini masih susah untuk memahami" "Kan Adek sudah baca berita, sudah nonton debat juga. Adek bisa menyimpulkan sendiri. Tinggal ngikut kata hati, nggak usah ngikut yg lain..."

Setelah Bapak berkata demikian, saya jadi merenung agak panjang (tapi nggak sambil muter lagu galau) dan tetiba mendapat sebuah kecenderungan. Meski belum pasti milih yang itu sih, belum terlalu merasa impressed.

Tapi, bagaimanapun, jikalau pilihan saya kelak menang atau kalah, setidaknya saya bisa memberi setitik kontribusi tanpa harus bersikap fanatik.

Karena, gimana ya, saya merasa tidak tahu diri (wuih) jika tidak ngaps ngaps alias melakukan sesuatu untuk negara yang sudah saya tempati selama 21+ tahun terakhir. Heuheu.

Minimal ya nyoblos 5 tahun sekali itu, tapi jangan sampai asal nyoblos ya. Dan juga cukup menjaga stabilitas negara dengan cara nggak ikut mempermasalahkan siapa yang terpilih lalu menjelekkan kubu lain yang pada akhirnya selalu memantik keributan. In the end, siapapun pemenangnya mungkin memang itu yang terbaik meski tak sempurna adanya. Ujutes kadit?

Terlepas dari konspirasi film dokumenter "Sexy Killers" yang kini sedang hangat untuk diperbincangkan, atau berbagai isu hoax yang pada akhirnya hanya bertujuan untuk menjatuhkan salah satu calon, saya harap orang-orang di luar sana yang ilmunya lebih banyak itu bisa segera berhenti untuk saling menyerang, saling menyindir, menipu, atau berkata yang tidak sepantasnya untuk dikatakan. Terkadang saya membayangkan bagaimana rasanya jika saya menjadi anak salah satu elit politik yang "bermasalah" karena menjelekkan lawannya. Menjelekkannya di depan khalayak umum pula. Naudzubillah. Malu atuh!

Kalau memang bangga dengan pilihannya, cukup bicarakan kebaikan. Atau jika inginnya negara ini berkah, coba dimulai dari diri sendiri dengan meneladani hadits riwayat Bukhari yang satu ini: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata yang baik atau diam (jika dalam kebenaran)".

Sekian ya, semoga ada manfaat yg bisa diambil dari celotehan tengah malam ini. Intinya, tuh: Jangan lupa nyoblos (sesuai dengan hati nurani) tangal 17 April!

Malang, 16 April 2019
Afif Auliya Nurani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun