Ibarat kita berdua sedang menapaki jalan di tengah hutan. Aku sudah berada jauh di depan dan kamu masih saja tertinggal di belakang, berkutat dengan kuntum bunga yang bernama masa lalu. Lantas bagaimanalah aku bisa menggandeng tanganmu untuk menyebrangi sungai dan rawa-rawa, atau hanya sekedar bersandar pada pundakmu saat aku kelelahan?
Bukankah kita sudah sepakat untuk menjelajah hutan bersama? Tapi, kamu -dengan segala keyakinanmu yang belum penuh itu, masih saja di sana. Lantas kapan kita akan segera sampai pada tujuan akhir yang didambakan? Oh, sungguh, perjalanan ini begitu menyesakkan. Kabut putih tebal menghiasi sela-sela pepohonan. Tapi tetap saja, masih lebih tebal kabut yang menutupi hatimu itu. Menyamarkan segala perasaan.
Sungguh, perjalanan ini begitu berat. Tidak satu-dua-kali aku jatuh di kubangan lumpur, terkilir, tersesat bahkan terjebak di jalan yang sama. Dan kamu? Kamu tetap saja berhenti di sana, masih setia merawat kuntum bunga itu dengan hati yang senang. Sesekali kamu menghampiriku, memasang wajah manis tanpa dosa, menanyakan apakah aku baik-baik saja, kemudian kembali ke sana tanpa beban! Hei, tidakkah kamu ingin mengerti perasaanku barang sedikit saja?
Aku mengerti, semenjak perjalanan ini dimulai kamu memang tidak pernah serius. Tidak pernah. Sia-sia saja membawa kompas dan peta, juga perlengkapan tidur dan bekal makanan. Sedangkan sepanjang waktu kamu sudah kenyang hanya dengan memandangi kelopak bunga sialan itu. membuat hatiku sesak dan tak punya pilihan apa-apa selain patah.
Namun, bukankah dulu kamu pernah bilang bahwa kamu sangat mencintaiku? Bukankah kita sudah sepakat untuk saling mengusahakan dan mendoakan agar bisa menua bersama? Dan juga, ingatkah kamu pada purnama itu. Ya, purnama yang menjadi saksi saat kamu berikrar tidak akan menorehkan tinta pesakitan di hatiku barang setitik. Tapi apa sekarang? Jangan-jangan, aku hanya terlalu bodoh untuk percaya begitu saja dengan semua perkataanmu ya?
Tapi, aduh bagaimanalah. Kini aku sudah terlanjur di sini, di hutan perasaan ini. Jadilah aku harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan rutenya. Meski di sini sangat dingin dan sering turun hujan, tak mengapa. Sungguh tak mengapa. Setidaknya mereka membantu banyak dalam menutupi air mataku yang sulit kutahan.
Maka baiklah, aku akan terus berjalan ke depan. Meski sendirian. Tanpa arah, tanpa petunjuk, juga tanpa kamu. Jika bunga itu telah layu, tak mewangi lagi, carilah aku di antara rerumputan dan gugur daun berserakan. Jemput dan bawalah aku keluar menuju akhir yang bahagia seperti kesepakatan kita di awal. Dan jika kamu tak menemukanku, itu artinya aku sudah dimakan harimau atau serigala ganteng hahahahahahahaha... :(
September 2017
Dari aku, petualang dari kota Malang yang sangat malang