Mohon tunggu...
Afida Rahma Tsabita
Afida Rahma Tsabita Mohon Tunggu... Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Maulid Nabi: Kebersamaan yang Menyatu dengan Warisan Nusantara

16 Oktober 2025   15:30 Diperbarui: 16 Oktober 2025   15:26 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah hiruk pikuk malam Kota Malang, Jawa Timur, ratusan warga Kelurahan Samaan berkumpul memenuhi bagian dalam hingga halaman Masjid Al-Mubarok untuk merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Puluhan barang-barang yang digantung bergoyang pelan ditiup angin malam, sementara suara alunan selawat dari pengeras suara menambah suasana syahdu. Anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak memenuhi masjid dengan membawa makanan, jajanan, dan kue yang nantinya akan saling ditukar. Para warga tampak secara khidmat mendengarkan dan mengikuti rangkaian acara, lalu bersorak antusias tatkala digelarnya puncak perayaan.

Kebersamaan dan kegembiraan ini mencerminkan bagaimana tradisi perayaan Maulid Nabi menyatu dengan nilai lokal masyarakat. Masuknya Islam ke Nusantara mengakibatkan terjadinya percampuran budaya dengan tradisi lokal. Hal ini dapat dilihat dari tradisi dan ritual keagamaan yang masih dilaksanakan oleh masyarakat, seperti Idul Fitri, Idul Adha, Isra’ Mikraj, dan Maulid. Perayaan-perayaan tersebut tidak hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi mengandung unsur budaya yang khas. Setiap daerah pun memiliki cara tersendiri dalam melaksanakan perayaan tersebut. Misalnya, cara masyarakat Yogyakarta berbeda dengan masyarakat Jambi dalam merayakan Idul Adha. Di Yogyakarta, masyarakat muslim merayakan Idul Adha dengan mengarak tiga gunungan berisi buah dan sayur dari area Keraton sampai Masjid Gede Kauman. Sedangkan di Jambi, masyarakat muslim melakukan tradisi Maanta yaitu dengan saling mengirim makanan kepada keluarga dan tetangga. Keberagaman ini juga mewarnai hari besar lain, yakni peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di mana tradisi yang menjadi penghubung antara kearifan Nusantara dan iman.

Jatuh setiap tanggal 12 Rabiul Awal penanggalan Hijriyah, Maulid nabi diperingati sebagai penghormatan atas lahirnya Nabi Muhammad SAW. Istilah maulid berasal dari bahasa Arab yakni walada yalidu wiladan yang memiliki arti kelahiran. Tradisi ini merupakan bentuk ekspresi penghormatan dan pengingat atas keteladanan Nabi Muhammad dengan berbagai macam kegiatan budaya. Perayaan ini awalnya diperkenalkan oleh seorang penguasa dari Dinasti Fatimiyah dengan membuat pujian-pujian untuk Nabi Muhammad SAW dan telah berkembang jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Di negara mayoritas Muslim, setiap tanggal 12 Rabiul Awal selalu diperingati Maulid Nabi. Masyarakat muslim biasanya menyambutnya dengan melakukan selawat Nabi, pengajian, dan mengadakan perayaan-perayaan kecil di masjid, surau, ataupun pondok pesantren. Namun, setiap daerah merayakannya dengan corak yang khas, mencerminkan adanya akulturasi Islam dengan adat lokal

Di Malang, khususnya RW 07 Kelurahan Samaan, pelaksanaan Maulid Nabi diikuti oleh seluruh kalangan masyarakat Muslim, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Perayaan ini digelar pada tanggal 4 September 2025, malam sebelum 12 Rabiul Awal 1447 di Masjid Al-Mubarok. Warga berkumpul setelah salat Maghrib dengan membawa makanan dan buah segar. Acara dimulai dengan lantunan sholawat-sholawat nabi diiringi tabuhan rebana yang seirama, menciptakan irama riang bercampur khidmat. Setelah itu, dilanjutkan dengan ceramah dari pemuka agama dan doa-doa yang menambah suasana hangat. “Maulid Nabi ini dilakukan untuk mengenang Baginda Rasulullah dan juga sebagai rasa hormat,” ujar Sujiono, ketua penyelenggara perayaan Maulid Nabi di Masjid Al-Mubarok. Perayaan berlanjut dengan tradisi saling berebut barang-barang yang digantung sebelumnya, puncak yang dinanti-nantikan.

Tradisi tersebut dinamakan tradisi rebutan yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti saling berebut. Tradisi sudah lama dilakukan di beberapa daerah di Jawa Timur sebagai simbol kekompakan. Barang-barang yang digantung dengan tali rafia berasal dari uang kas masjid yang dibelanjakan, ditambah dari sumbangan sukarela warga. Sepekan sebelumnya, panitia membeli kebutuhan barang-barang dan secara bersamaan menghimbau warga yang ingin menyumbang barang. Barang-barang tersebut terdiri dari alat sholat, peralatan rumah tangga, dan makanan ringan. Saat hari perayaan tiba, panitia menggantung semua barang yang telah dikumpulkan di area salat jemaah pria dan wanita. Saat waktu telah tiba, anak-anak hingga orang tua mulai berebut agar mendapatkan barang incarannya. Ritual ini memperkuat Masyarakat setempat menyebut tradisi ini merupakan bentuk semangat dan kekompakan warga dalam memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. 

Setelah tradisi rebutan selesai, doa penutup pun dilantunkan. Kemudian, acara diakhiri dengan tradisi tukar makanan. Setiap warga yang hadir membawa makanan secara sukarela seperti nasi kotak, nasi tumpeng, jajanan tradisional, dan buah-buahan. Sebelum memulai acara, warga diwajibkan menyerahkan makanan yang dibawa kepada panitia untuk ditukar secara acak di akhir acara. “Ini merupakan sebuah tradisi turun temurun yang mengajarkan warga untuk selalu bersyukur atas apa yang diberikan Allah, karena dalam mekanismenya penukaran dilakukan oleh panitia bukan warga,” jelas Farida Ariyanti, panitia pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Senyum yang mekar di wajah setiap warga saat panitia membagikan makanan menambah suasana kebersamaan yang hangat.

Pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW ini juga terjadi di beberapa daerah dengan tradisi yang khas. Di Yogyakarta merayakan Maulid Nabi ini dengan budaya Sekatenan. Upacara sekaten ini tidak hanya semata-mata ritual keagamaan, tetapi juga merupakan paduan unsur Islam, seni, budaya, dan ekonomi rakyat. Digelar selama satu pekan di alun-alun keraton, upacara ini diikuti oleh masyarakat dari berbagai daerah. Diawali dengan kirab gamelan pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari sebagai simbol menyerukan masyarakat untuk selalu mendekat pada nilai-nilai Islam. Selanjutnya, selama satu minggu, gamelan akan ditabuh setiap siang dan malam, masyarakat mempercayai mendengarkan alunan gamelan ini akan mendatangkan keselamatan. Saat malam, digelar sebuah pasar malam Sekaten di mana para pedagang berjualan makanan tradisional, kerajinan tangan, dan mainan anak. Puncaknya yakni pada hari terakhir dengan diadakannya Grebeg Maulud. Pada acara ini, gunungan berisi hasil bumi berbentuk kerucut akan diarak dari keraton menuju masjid. Warga akan dipersilahkan untuk berebut gunungan setelah doa bersama, kegiatan ini dipercayai warga membawa kemakmuran.

Sementara itu, dalam masyarakat Sasak, perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap praupacara, masyarakat Sasak memusyawarahkan kebutuhan untuk Maulid Nabi. Mereka biasanya merencanakan hal terkait waktu penyelenggaraan, rangkaian upacara, jenis kegiatan, dan sajian jajanan, lauk-pauk serta sayur-mayur. Pada hari upacara, diawali dengan dinaikkannya dulang nasi sebelum acara dilaksanakan, kemudian dilanjut dengan acara begibung, yakni pembagian dulang nasi untuk masyarakat yang datang. Tahap ini pula dilakukan pengajian, ceramah pengajian, tahlilan, zikir, do’a, dan membaca Al-Barzanji. Pada pascaupacara, pada tahap ini Maulid Nabi dirayakan dengan digelarnya tradisi meriah seperti panjat pinang sebagai harapan terpupuknya persatuan dan kesatuan, kegiatan tarik tambang sebagai cermin strategi bersiap masyarakat Sasak untuk menghadapi peristiwa besar, serta kokok kepeng, tradisi yang dilakukan dengan menyelipkan uang logam ke buah jeruti dan digantung. Kemudian, masyarakat berlomba-lomba mengambil uang tersebut, tradisi ini memiliki makna filosofis agar masyarakat Islam Sasak senantiasa menanamkan sikap optimis. 

Tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di berbagai daerah menunjukkan bahwa unsur keagamaan di Nusantara dan tradisi lokal berjalan dengan selaras. Adanya perbedaan cara merayakan Maulid Nabi menjadi gambaran bahwa Islam sebagai agama universal dapat beradaptasi dengan nilai-nilai lokal tanpa kehilangan esensi ajarannya. Tidak hanya ketiga daerah di atas, daerah lain juga merayakan Maulid Nabi secara berbeda misalnya tradisi mengarak ratusan telur di Banyuwangi, tradisi sebar udikan di Madiun, tradisi Bungo Lado di Padang Pariaman, tradisi Karts Rammang-rammang di Sulawesi, dan tradisi memasak Kuah Beulangong di Aceh. Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, tradisi-tradisi tersebut tidak hilang, tetapi hidup dan akan terus berkembang dalam dekapan abadi Nusantara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun