Program ini juga memperkenalkan dua aplikasi populer: Learn Quran Tajwid dan Tarteel AI. Melalui aplikasi ini, anak-anak bisa berlatih membaca Al-Qur'an secara mandiri, bahkan mendapatkan koreksi otomatis terkait panjang-pendek bacaan maupun kesalahan tajwid.
Hanya butuh dua minggu setelah diperkenalkan, 100 persen siswa sudah terbiasa menggunakan aplikasi tersebut. Orang tua pun merasa terbantu. "Sekarang anak-anak bisa belajar sendiri di rumah. Kalau saya pulang kerja, tinggal mengecek progres lewat aplikasi," tutur seorang wali murid.
Guru juga melihat manfaat besar. Aplikasi ini menjadi pelengkap, bukan pengganti. Dengan teknologi, guru tidak lagi terbebani harus mengulang koreksi satu per satu, karena sebagian sudah ditangani aplikasi.
Data Bicara: Motivasi Siswa Meningkat
Keberhasilan program tidak hanya terasa, tetapi juga terukur. Evaluasi menunjukkan bahwa 70 persen siswa mengalami peningkatan motivasi belajar mengaji. Guru pun merasakan dampak serupa: 70 persen melaporkan kelas menjadi lebih hidup dan variatif. Dari sisi orang tua, 70 persen menyatakan anak mereka kini lebih inisiatif membuka mushaf tanpa harus disuruh.
Singkatnya, kombinasi gamifikasi, storytelling, dan aplikasi digital berhasil memecahkan kebekuan pembelajaran mengaji yang selama ini monoton.
Dampak Lebih Luas: Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Selain menyasar peningkatan akademik, program ini juga membawa dampak sosial. Hubungan antara guru, siswa, dan orang tua menjadi lebih erat. Mereka berkolaborasi, bukan bekerja sendiri-sendiri.
Dari segi ekonomi, program ini relatif efisien. Semua aplikasi yang digunakan gratis, sehingga tidak membebani sekolah maupun keluarga. Bahkan, orang tua merasa terbantu karena tidak perlu membeli buku tambahan.
Secara budaya, inovasi ini merevitalisasi tradisi mengaji. Kegiatan yang dulu dianggap membosankan kini berubah menjadi aktivitas yang ditunggu-tunggu. Tradisi lama tetap dijaga, namun dikemas dengan pendekatan modern.
Tantangan yang Masih Menghantui
Tentu tidak semua berjalan mulus. Evaluasi program menemukan beberapa keterbatasan. Pertama, tidak semua orang tua punya literasi digital yang sama, sehingga sebagian masih kesulitan mengoperasikan aplikasi. Kedua, keberhasilan gamifikasi sangat bergantung pada kreativitas guru dalam merancang tantangan. Tanpa pelatihan berkelanjutan, ada risiko metode ini kembali membosankan.
Selain itu, infrastruktur digital di daerah juga masih jadi batu sandungan. Tidak semua sekolah dasar memiliki akses internet yang stabil. Padahal, koneksi menjadi kunci utama keberhasilan pembelajaran digital.
Menuju Keberlanjutan: Perlu Kolaborasi Multipihak
Untuk menjaga keberlanjutan, sekolah dianjurkan membangun komunitas belajar digital yang melibatkan guru, orang tua, dan siswa. Grup WhatsApp atau platform daring bisa menjadi ruang berbagi pengalaman dan solusi.