Mohon tunggu...
Afen Sena
Afen Sena Mohon Tunggu... Dr, IAP, FRAeS

Anak muda dari kampung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

No News is a Good News?

9 Juni 2025   03:04 Diperbarui: 9 Juni 2025   03:04 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja (Sumber: Foto Pribadi)


"Tidak ada kabar adalah kabar baik."Begitu kata pepatah lama yang dulu terdengar menenangkan, apalagi bagi orang tua zaman dulu yang anaknya merantau jauh. Jika tak ada surat datang selama sebulan, mereka justru tenang. "Ah, berarti sehat-sehat saja di sana." Begitulah logika sederhana tapi penuh keyakinan.

Namun, logika itu tampaknya sulit bertahan di zaman sekarang. Saat notifikasi berbunyi nyaris setiap detik, dan semua orang bisa melacak posisi satu sama lain seperti agen CIA, ketiadaan kabar justru bikin jantung sport jantung.
"Chat dibaca, tapi tidak dibalas."
"Last seen 12 menit yang lalu."
"Ada story, tapi WA aku nggak dijawab."
Begitu seterusnya, sampai akhirnya overthinking memuncak ke level mendramatisir hidup yang tak perlu.

Kita memang hidup di zaman di mana "sunyi" sudah kehilangan aura sakralnya. Dulu, hening adalah tanda damai. Sekarang, diam bisa menandakan banyak hal---dari sibuk, ngambek, hilang sinyal, sampai ghosting halus yang menggores batin.

Bahkan, no news bisa berarti:
*"Lagi gak mau diganggu."
*"Gak ada kabar baik, jadi mending diam."
*Atau yang paling jujur: "Lagi males aja ngebales siapa pun."

Tapi jangan salah, tidak semua diam itu keliru. Dalam budaya Timur, hening kerap dimaknai sebagai kebijaksanaan. Diam itu elegan, kata orang Jepang. Dalam bahasa Jawa, diam adalah cara menjaga perasaan orang lain---daripada ngomong lalu nyakitin, lebih baik diam dan senyum. Bahkan orang tua kita sering bilang, "Nek mung arep nyinyir, mending ngelus dada, ngeteh, terus mlaku menyang sawah."

Namun, diam yang tidak pada tempatnya juga bisa jadi masalah. Kita tidak bisa bilang "no news is a good news" kalau diam itu berarti menutup mata terhadap ketidakadilan. Diam terhadap kekerasan, korupsi, atau hoaks bukanlah keheningan yang bijak, tapi pembiaran.

Ironisnya, kadang yang terlalu banyak bicara pun membingungkan. Kita hidup dalam dunia yang penuh breaking news tapi minim makna. Hari ini berita A, besok berita B, lusa sudah lupa semuanya. Kita dipenuhi kabar, tapi kosong makna. Maka jangan-jangan, bukan "no news" yang kita butuhkan, tapi "slow news"---kabar yang pelan tapi menyentuh, bukan cepat tapi menyayat.

Tentu, semua ini kembali ke cara kita membaca dunia. Tidak semua diam adalah misteri. Tidak semua kabar harus gegas. Dan tidak semua notifikasi itu penting---apalagi yang isinya cuma stiker jempol.

Maka barangkali, di zaman serba sibuk ini, kita justru perlu sedikit lebih bisa berdamai dengan keheningan. Tapi bukan keheningan karena cuek, melainkan keheningan yang sadar, yang memberi ruang untuk bernapas, berpikir, dan ya... sekadar rehat dari keributan dunia maya.

Jadi, no news is a good news? Mungkin. Tapi dengan catatan: selama diam itu bukan karena kita sedang diabaikan secara massal, dilupakan oleh sistem, atau ditinggalkan gebetan tanpa penjelasan.

Kalau itu yang terjadi, no news bukan good news. Itu namanya: bad attitude.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun