Mohon tunggu...
Afandi Mansyur
Afandi Mansyur Mohon Tunggu...

Mencintai Indonesia denga Sabar dan Optimis. Pernah Kuliah di Unhas, UI, dan selalu bersemangat ingin menjadi pembelajar sahaja.

Selanjutnya

Tutup

Money

Eksmud Parlente Vs Eksmud Sederhana

3 Desember 2013   17:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:22 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang lagi ngetrend di dunia bisnis istilah eksekutif muda (muda). Identitas tersebut ditujukan untuk seseorang berusia muda, sekitaran 30-an tahunan yang sudah menempati posisi karir strategis selevel supervisor, manajer, direktur, bahkan CEO (Chief Executive Officer) dalam sebuah perusahaan. Bahkan ada tagline khusus yang dipopulerkan oleh pengusaha muda Billy Boen untuk golongan ini yaitu “ Young and Top” dan komunitasnya diberi ‘status’ Yoters.

Saat ini boleh dikata memang eranya Eksmud. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar mengamanahkan jabatan karir oke untuk kaum muda yang memiliki potensi, dedikasi, dan integritas. Contoh terakhir adalah apa yang dilakukan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, dengan memplot perempuan berusia 28 tahun bernama Laily Prihatiningtyas untuk menahkodai PT TWC Borobudur Prambanan Candi Boko.

Pertimbangannya boleh jadi karena energi, kreatifitas, dan obesi anak anak muda untuk berkarya dan berhasil lebih besar dibanding seseorang yang telah berusia lanjut. Tapi boleh jadi eksekutif muda bisa dibayar lebih efisien ketimbang tenaga berpengalaman yang berusia lebih tua dan matang.

Implikasi dari posisi tinggi bagi generasi muda tersebut adalah pada raihan pendapatan. Mereka yang duduk di kursi panas elit tersebut memiliki gaji dan tunjangan yang melebihi usia sepantaran mereka. Bahkan dengan pendapatan tersebut mereka kemudian bisa memiliki harta benda yang lebih cepat dan banyak ketimbang karyawan di level biasa.

Dengan pendapatan tersebut, mereka pun memoles diri. Menampilkan identitas pribadi prestasi mereka di mata publik. Penampilan mereka parlente disesuaikan dengan jaman mereka. Mereka meningkatkan selera fashion mereka dengan membeli pakaian kelas atas merek ternama atau dari desainer terkenal, menggunakan assesoris mewah dan mahal, serta melengkapi diri dengan kendaraan pribadi level tinggi. Selain itu mereka pun senang berkumpul dan bersenang-senang di kafe-kafe elit atau berplesiran ke dalam dan luar negeri demi menunjukkan kasta mereka.

Kaum Eksmud ini ingin menunjukkan mereka sudah termasuk kelompok ekonomi ‘The Have’ yang punya jabatan, uang, gaya, serta komunitas. Mereka ingin menunjukkan eksistensi mereka dengan meng-show force kebendaan yang mereka miliki. Tak jarang ada diantara mereka yang larut dalam konsumerisme gaya hidup tersebut, rela menjerumuskan diri dalam kubangan hutang demi prestise eksmud elit dan social life yang diwarnai hedonisme.

Dengan penampilan mewah tersebut, mereka merasa ada dan lahir. Mereka merasa menjadi sosok istimewa dan diterima publik, karena mereka tahu bahwa masyarakat lebih melihat sesuatu di permukaan dibandingkan substansi yang terpendam, lebih mengukur seseorang dari penampilan dan kebendaan serta percaya bahwa seseorang berpenampilan parlente adalah orang yang hebat dan harus dihormati tanpa keraguan.

Dengan penampilan dan gaya tersebut, mereka tak jarang membangun tembok dan memilih tinggal di menara gading. Mereka dengan sengaja menciptakan barrier bagi jalan masuk dalam ranah kehidupan pribadi maupun teritori kerja. Tak jarang mereka mabuk dengan keangkuhan strata dan mengandalkan senjata kesoktahuan mereka untuk menyelesaikan pun menghindari masalah yang ada.

Dalam realitas tersebut, maka analisa Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave yang ditulis tahun 1889 silam bisa jadi kontekstual. Revolusi media telah membuat manusia larut dalam lautan citra yang diproduksi secara massal. Dan karenanya, orang secara intens termotivasi untuk membandingkan diri mereka dengan sejumlah model peranan dan gaya hidup yang direstui masyarakat. Parahnya, media tidak hadir dalam sebuah niat mulia untuk menuntun manusia dengan potret seutuhnya, akan tetapi dengan serpihan dan kedipan citra yang instan dan menyilaukan. “ Ini jauh lebih sulit, dan karena itu lah berjuta-juta orang hampir putus asa mencari identitasnya” ungkap Toffler.

Tapi tak semua eksmud memilih jalan memamerkan kesejahteraan dengan gaya bombastis. Ada juga eksmud yang sederhana dan bersahaja, dan jauh dari konsumerisme apatahlagi hedonisme. Boleh jadi mereka tidak popular dengan gaya ala kadarnya, mereka yakin apa adanya justru lebih menggugah dan menyejukkan.

Mereka hidup dengan kecerdasan dan kerendahhatian. Mantap dengan integritas dan objektifitas. Eksmud sederhana juga tidak malu untuk memakai barang model lama tapi masih laik digunakan. Perjuangan terhadap keapadanyaan tersebut, menumbuhkembangkan mindset dan karakter pribadi mereka. Juga yang tak kalah pentingnya adalah senantiasa santai dengan tantangan, ujian, dan kegagalan, karena mereka optimis bahwa kesabaran dan kesyukuran adalah jalan terbaik kehidupan.

Eksmud sederhana selalu membuka ruang yang seluas-seluasnya untuk setiap orang. Dia membumi dan merakyat. Mereka berkomunikasi dengan rendah hati, bertanya tanpa bermaksud mengadili, dan menyelesaikan masalah tanpa bermaksud menggurui tapi mencari ruang kemenangan bersama bagi tim atau perusahaan. Eksmud sederhana akan senantiasa adaptatif di lingkungan manapun, senantiasa teruji dalam budaya manapun dan selalu melihat persoalan dengan sederhana dan terbuka.

Bagi Eksmud sederhana, penampilan yang harus dikedepankan adalah kerapihan bukan kemewahan. Bagi eksmud sederhana, rasa hormat tidak harus ditunjukkan dengan simbol-simbol merek elit, melainkan kepada kesantunan dan kerendahan hati. Semangat hidup apa adanya, membuat seorang eksmud sederhana bisa membangun suasana lebih jujur dan bermartabat, dan tidak terbuai dengan konflik kepentingan subjektif. Individu kategori ini ada tapi langka, namun selalu melegenda dengan pilihan ketauladanannya yang mengejutkan. Integritas dan reputasi adalah harga mati bagi eksmud sederhana.

Dunia mengenang Bill Gates, Mark Zuckerberg, Warren Buffeet, dan Samuel Moore Walton, sebagai busisnessman ulung yang sederhana dan dermawan. Sebagaimana halnya Indonesia akan selalu merindukan kebersahajaan William Soerdyadjaya dan Sudono Salim atau mengagumi kerendahan hati seorang Ciputra, Jusuf Kalla, ataupun Joko Widodo.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun