Pada Selasa (16/9/2025), Edi Rama, Perdana Menteri (PM) Albania, mengumumkan jajaran kabinet barunya. Namun, ada yang unik dan cukup kontroversial: untuk pertama kalinya dalam sejarah, Albania menunjuk menteri yang bukan dari kalangan manusia, melainkan robot AI (Artificial Intelligence) bernama "Diella". Dalam bahasa Albania, "Diella" berarti "Matahari."
Sebagaimana dilansir CNN Indonesia, tugas utama Diella adalah menangani program pengadaan publik. Kehadirannya diharapkan dapat menghapus praktik suap, diskriminasi, dan perilaku menjilat dalam birokrasi Albania.
"Diella adalah anggota kabinet pertama yang tidak memiliki wujud fisik, tetapi diciptakan secara virtual oleh AI. Ia diharapkan menjadikan Albania sebagai negara dengan sistem tender publik yang bebas 100% dari korupsi," kata Rama dalam pidato pengumuman kabinet baru pada Selasa, 16 September 2025.
Keputusan Albania mengangkat AI sebagai menteri ini merupakan salah satu upaya preventif terhadap praktik suap dan korupsi yang marak terjadi di negara yang memiliki julukan "Tanah Air Burung Elang" ini. Pemilihan ini didasarkan pada keyakinan bahwa AI tidak bisa disuap maupun ditekan; oleh karena itu, diharapkan ia dapat mengatasi persoalan suap dan korupsi. Namun, kebijakan ini juga banyak menuai kritik dari berbagai pihak karena dianggap problematis dan kontroversial.
Menurut Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, fenomena AI merupakan babak baru bagi manusia di abad ke-21 setelah banyaknya revolusi yang dilalui manusia, seperti revolusi kognitif hingga revolusi sains dan industri. Era ini menandai perubahan kendali atas banyak aspek kehidupan, dari manusia ke AI.
AI, meskipun memiliki dampak positif yang konkret bagi kehidupan manusia, juga memunculkan banyak persoalan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelum abad ke-21, seperti berkurangnya lapangan pekerjaan, hilangnya otonomi manusia, dominasi algoritma, dan masih banyak persoalan lainnya.
Algoritma dan AI dapat memproses data dalam jumlah sangat besar dengan cepat, objektif, dan efektif dibandingkan manusia. Akibatnya, peran manusia di banyak ranah kehidupan digantikan oleh sistem berbasis algoritma.
Tak cukup di situ, Harari memprediksi bahwa ke depan akan muncul satu "agama baru" yang ia sebut "Dataisme." Dalam pandangan ini, data yang melahirkan algoritma akan menjelma menjadi nilai tertinggi, melebihi nilai agama, moralitas, kearifan lokal, bahkan demokrasi. AI juga akan menjadi penentu dominasi politik. Pihak yang memiliki data besar (big data) dan algoritma akan mendominasi pihak lain dalam politik, ekonomi, budaya, bahkan hampir seluruh aspek kehidupan.
Jika bahaya AI dan algoritma ini tidak lekas disadari secara kolektif, bencana terbesar dalam sejarah umat manusia–yakni hilangnya otonomi manusia atas dirinya sendiri–akan mengancam kehidupan manusia abad ke-21. Mungkin, di beberapa ranah, hal ini sudah mulai terjadi.
Saat ini, di banyak rumah sakit, pekerjaan mendiagnosis penyakit sudah dilakukan oleh AI dan algoritma. Belakangan, seperti disinggung di atas, Albania menunjuk AI menjadi Menteri Pengadaan Publik, sebuah jabatan yang krusial dalam konstelasi perekonomian dan perpolitikan suatu negara. Bahkan persoalan jodoh pun kini tak lepas dari intervensi AI dan algoritma melalui berbagai platform digital.
Persoalan-persoalan di atas hanya secuil dari dampak negatif yang lahir dari AI dan algoritma. Sehingga langkah-langkah untuk segera mencari solusi dan alternatif atas persoalan ini menjadi sangat mendesak, khususnya perlunya diskusi etis dan perumusan regulasi global, serta penetapan batas moral dan politik yang jelas atas penggunaan AI dan algoritma.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!