Beberapa tahun lalu, istilah ESG (Environmental, Social, Governance) mungkin terasa seperti jargon "elit" yang hanya muncul di laporan tahunan perusahaan besar.Â
Tapi sekarang, peta sudah berubah total. Konsumen makin kritis, investor makin selektif, dan regulator makin tegas. ESG bukan lagi pelengkap, ESG mulai menjadi penentu keberlangsungan bisnis.
Pada tahun 2024, pasar menunjukkan reaksi cepat terhadap isu ESG. Beberapa perusahaan fesyen global yang ketahuan melakukan "greenwashing" (klaim palsu atau berlebihan tentang upaya ramah lingkungan) langsung diserbu oleh netizen, dan nilai sahamnya merosot hanya dalam hitungan hari.Â
Sebaliknya, merek-merek makanan plant-based (berbahan nabati, tanpa produk hewani) justru semakin digemari oleh Generasi Z (kelompok usia kelahiran pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an) karena dinilai lebih ramah terhadap bumi.Â
Situasi ini membuktikan bahwa dunia bisnis kini berada dalam sorotan publik, sehingga setiap langkah perusahaan harus lebih hati-hati.Â
Dan publik ini bukan hanya konsumen, tapi juga investor, kreditur, masyarakat, media sosial, bahkan calon karyawan. Laporan dari NYU Stern (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60% investor institusi global telah memasukkan indikator ESG ke dalam keputusan investasinya. Artinya, citra dan reputasi bukan lagi soal branding, tapi soal akses modal.
Tidak semua perusahaan menjalankan ESG dengan kesungguhan yang sama. Ada yang menjadikannya bagian inti strategi, ada pula yang sekadar memoles citra. Contoh-contoh berikut menggambarkan perbedaan mencolok itu.
- Unilever Indonesia berhasil menanamkan ESG ke jantung bisnis, mulai dari program daur ulang kemasan, pemberdayaan UMKM perempuan, hingga rantai pasok berkelanjutan. Laporan keberlanjutan mereka transparan dan diaudit oleh pihak eksternal, bukan sekadar pajangan (Unilever, 2024).
- Sebaliknya, kasus runtuhnya bendungan limbah tambang Vale di Brumadinho, Brasil menjadi contoh gelap, kegagalan tata kelola dan pengawasan lingkungan merenggut 270 nyawa, merusak reputasi global, dan menimbulkan denda miliaran dolar AS. Sampai kini, nama Vale masih dikaitkan dengan tragedi itu (Kompas, 2019).
Mengelola ESG dengan benar bukan beban tambahan. Justru, banyak perusahaan menemukan bahwa ESG memberi keunggulan strategis:
Mengurangi risiko hukum, reputasi, dan operasional. Dengan menerapkan standar lingkungan dan etika kerja yang ketat, perusahaan dapat terhindar dari denda, tuntutan hukum, serta krisis reputasi yang merusak kepercayaan publik.
Membuka akses ke investor yang semakin peduli isu keberlanjutan. Banyak investor institusional saat ini mensyaratkan kinerja ESG yang baik sebelum menanamkan modal, karena dianggap lebih aman dan tahan krisis.
Membangun loyalitas konsumen dan menarik talenta muda. Generasi muda lebih memilih merek dan tempat kerja yang memiliki nilai keberlanjutan dan kepedulian sosial, sehingga ESG dapat menjadi daya tarik emosional.