Mohon tunggu...
Adrianus Sugiarta
Adrianus Sugiarta Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Pendidik di SD Pangudi Luhur 4 Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Doa dan Perjuangan Sang Ayah

8 Juni 2020   12:45 Diperbarui: 27 Desember 2020   02:07 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebahagiaan hidup dalam keluarga adalah dambaan setiap insan. Tidak jarang, suatu kebahagiaan dalam sebuah keluarga diawali dengan perjuangan yang berat dan berliku. Tidak jarang pula kebagiaan ditemukan setelah membuang jauh-jauh cita-citanya. Memang, jalan menuju kebahagiaan itu menjadi misteri ilahi.

Aku hanyalah anak dari keluarga yang tidak punya. Ayahku seorang petani kecil yang hanya memiliki sepetak sawah peninggalan dari orang tuanya. Dari sepetak yang terletak di pinggir desa itu, oleh ayahku   selalu ditanami padi. Karena airnya cukup melimpah, sawah itu juga digunakan untuk memelihara ikan mas. Sekarang orang menyebut dengan mina padi, yaitu bentuk usaha tani gabungan  yang memanfaatkan genangan air sawah yang tengah ditanami padi sebagai kolam untuk budidaya ikan.

Suatu pagi yang masih gelap  (sekitar pukul 05.00), aku diajak oleh ayahku menuju petak sawah itu. Udara dingin dengan kabut yang menggelayut di sela-sela tananama padi terasa merasuk dalam pori-pori kulit menembus sampai ke tulang-tulang di sekujur tubuhku. Aku merasa sangat kedinginan. Barangkali juga ayahku merasakan hal yang sama. 

Namun, niat dan semangat untuk melihat perkembangan usaha menanam padi dan memelihara ikan, mampu menyingkirkan rasa itu. Apalagi setelah sampai di sana, rasa itu berubah menjadi syukur melihat tanaman padi yang menghijau dan lalu lalang ikan-ikan mas di sela-sela tanaman padi yang menjadi jalur menuju kolam kecil di pojok sawah. 

Memang, biasanya petak sawah yang dipakai untuk memelihara ikan diberi kolam entah dipojok, pinggir atau bahkan ada yang ditengah-tengah sawah yang dirasa aman. Kolam itu sebagai rumah dan persembunyian ketika ikan itu mendapatkan bahaya oleh binatang pemangsa, air yang berkurang karena padinya baru dipupuk, atau tempat berisitirahat setelah mencari makan di antara tanaman padi.

Entah mengapa, ketika siang hari ikan-ikan yang sudah seukuran tiga jari itu tidak kelihatan, tetapi ketika ayahku datang pagi-pagi, ikan-ikan itu bergembira hilir mudik, seolah-olah mereka ingin menujukkan kepada ayahku bahwa aku masih ada di sini untuk minta diabsen.

 "Itu, ikan-ikan yang warnanya merah polos sudah lewat. Beberapa yang merah bercak hitam juga masih ada" kata ayah kepadaku. " Yang berwarna hitam bergaris emas dipunggungnya mana, ya?" tanya ayahku kelihatan agak cemas. " Oh, ya, ya! Kog ngga kelihatan ya, Yah?" Aku menimpali pertanyaan ayahku. Tiba-tiba muncul ikan-ikan yang dimaksud ayahku bersama segerombolan ikan yang berwarna hijau. Rasa cemas pun hilang. 

Segera ayahku membuka bungkusan yang dibawa dari rumah, dan menebarkan diantara ikan-ikan itu. Ikan-ikan itu nampak gembira menikmati makanan yang disebarkan oleh ayahku. Mereka saling berebut dan meloncat untuk mendapatkan makanan-makanan itu. Rasa puas nampak telihat dari omongan yang keluar dari mulut ayahku.  Sambil melemparkan makanan ikan itu, ayahku menceritakan dari mana bibit ikan itu dibeli, berapa banyak dulu menyebarkan benih ikan itu, serta berapa harga uang yang dikeluarkan untuk membelinya. Rupanya, ayahku tahu apa yang aku inginkan. Setelah menebarkan dua genggam makanan ikan itu, langsung diberikan kepadaku. Aku pun mengikuti apa yang dilakukan ayahku, memberi makanan pada ikan-ikan itu.

Di sela-sela merawat padi dan ikan, ayahku masih menjadi buruh cangkul milik tetangga. Buruh cangkul adalah pekerjaan jasa mencangkukan tanah orang lain untuk mendapatkan upah. Demi pendidikan anak-anaknya, pekerjaan kasar dan berat itu ia tekuni dan lakoni dengan tulus. Jika ayahku mendapat kiriman makanan yang berlauk ikan, daging,  atau telur, ia sisihkan untuk dibawa pulang biar anak-anaknya mendapatkan gizi yang baik.  Ia berharap walaupun orang tuanya hanya lulus sekolah dasar dan bekerja kasar, ia tidak ingin anak-anaknya hidup seperti mereka. Bahkan demi anak-anaknya, ia rela hidup prihatin dengan rutin melaksanakan puasa mutih setiap neton (hari kelahiran) anak-anaknya. Doa yang ia lakukan tidak hanya dalam untaian kata, tetapi doa itu ia daraskan dalam setiap langkah perjuangan hidupnya ditengah ejekan tetangga kanan kiri, karena kemiskinan yang dialami.  

Pernah kudengar dengan telingaku sendiri, tetangga mengejek keluargaku karena memasak ikan tidak digoreng dulu karena tidak mampu membeli minyak goreng, tetepi langsung disayur. Ini menjadi topik yang sangat heboh di kampungku. Menjadi pembicaraan seluruh tetangga. Memang sedih rasanya diejek. Seolah-olah keluagaku adalah keluarga yang termiskin di kampungku.

Ibuku seorang pembuat tempe. Tidak banyak, hanya 3 atau 4 kilgram saja yang bisa dibuat karena dikerjakan sendiri. Mulai dari membeli kedelai, merebus, dan membungkus dengan daun pisang ia kerjakan sendiri. Pukul 05.30, Ibuku sudah berangkat ke pasar untuk menjual  tempe buatannya di pinggir trotoar depan pasar. Sekitar pukul 10.00, ibuku sudah pulang dari pasar untuk selanjutnya mengerjakan tugas hariannya membuat tempe.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun