Seiring dunia bergerak menuju ekonomi hijau, sebuah fenomena baru muncul: greenflation. Istilah ini merujuk pada kenaikan harga yang disebabkan oleh kebijakan perubahan iklim, terutama pajak karbon yang diterapkan untuk mengurangi emisi karbon. $ Jurnal terbaru oleh Luca Bettarelli, Davide Furceri, Loredana Pisano, dan Pietro Pizzuto (2025)$ Â mengungkapkan bahwa kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim memang membawa dampak besar terhadap inflasi, yang dikenal sebagai "greenflation."
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan pajak karbon sebesar 5$/tCO2 dapat meningkatkan harga barang dan jasa global sekitar 0,7% dalam setahun dan mencapai 4% dalam jangka menengah. Namun, kebijakan seperti Emissions Trading System (ETS) atau subsidi riset hijau tidak memberikan dampak yang signifikan pada inflasi.
Pajak karbon dirancang untuk menaikkan biaya bahan bakar fosil, mendorong perusahaan beralih ke energi terbarukan. Namun, transisi ini tidak berjalan mulus. Harga energi bersih masih tinggi, dan bahan baku untuk energi hijau seperti lithium dan nikel semakin mahal. Kondisi ini menciptakan tekanan pada sisi penawaran, di mana biaya produksi meningkat seiring kenaikan harga energi, sementara permintaan energi bersih terus tumbuh. Akibatnya, harga barang dan jasa pun ikut terkerek naik.
Faktor yang Memperburuk Greenflation:
- Tingkat Inflasi Awal: Negara yang sudah memiliki inflasi tinggi akan mengalami dampak dua kali lipat lebih besar. Dalam situasi inflasi yang sudah tinggi, kenaikan harga energi dapat memperburuk kondisi ekonomi.
- Tingkat Pendapatan Negara: Negara dengan pendapatan menengah ke bawah, terutama yang bergantung pada energi fosil, menghadapi inflasi yang lebih tinggi dibandingkan negara maju. Inovasi rendah di negara-negara ini juga memperburuk dampak kebijakan hijau.
- Tingkat Emisi Regional: Wilayah dengan emisi tinggi, seperti provinsi industri di Tiongkok dan AS, mengalami lonjakan harga yang lebih besar setelah pajak karbon diberlakukan.
- Kapasitas Inovasi: Daerah atau sektor dengan kapasitas inovasi tinggi mampu mengurangi dampak inflasi hingga 0,3% lebih rendah dibandingkan wilayah dengan inovasi rendah.
Fenomena greenflation memberikan gambaran baru dalam agenda ESG (Environmental, Social, Governance) dan green economy. Kebijakan hijau memang diperlukan untuk masa depan planet, tetapi harus diperhatikan bahwa kebijakan ini dapat menambah biaya ekonomi dalam jangka pendek. Bettarelli et al. memberikan beberapa saran kebijakan:
- Desain kompensasi sosial yang tepat. Subsidi atau bantuan sosial bisa membantu masyarakat miskin menghadapi lonjakan harga akibat kebijakan hijau.
- Tentukan waktu yang tepat. Kebijakan hijau sebaiknya dilaksanakan ketika inflasi sedang stabil --- untuk menghindari efek ganda yang merugikan.
- Dorong riset dan inovasi hijau. Investasi dalam R&D energi bersih akan mengurangi dampak inflasi dan mempercepat transisi energi terbarukan.
- Diversifikasi kebijakan hijau. Selain pajak karbon, kebijakan lain seperti ETS bisa digunakan untuk mengurangi dampak inflasi.
Dalam menghadapi greenflation, dunia tidak hanya membutuhkan kebijakan hijau, tetapi juga strategi yang mempertimbangkan stabilitas ekonomi. Pajak karbon memang penting untuk mengurangi emisi, tetapi kebijakan ini harus diimbangi dengan mekanisme kompensasi yang adil agar tidak membebani konsumen, terutama di negara dan sektor yang paling terdampak.
Penting untuk memahami bahwa transisi hijau bukan hanya tentang mengurangi emisi, tetapi juga tentang menciptakan kebijakan yang adil dan berkelanjutan bagi semua lapisan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI