Era digital menjanjikan kesetaraan, namun tanpa pemerataan infrastruktur, teknologi justru menjadi wajah baru dari ketimpangan pendidikan. Pendidikan dasar memegang peranan strategis dalam membentuk pondasi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa. Pendidikan dasar menjadi tangga awal yang tidak hanya membekali peserta didik dengan pengetahuan dasar, tetapi juga nilai-nilai karakter,logika berpikir, serta kecakapan hidup dasar. Dalam konteks pembangunan nasional jangka panjang, pemerintah Indonesia menempatkan pendidikan dasar sebagai prioritas Data Kemdikbudristek (2022) menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dengan reputasi baik cenderung terkonsentrasi di pusat kota, sedangkan di pinggiran atau pedesaan masih banyak sekolah dengan keterbatasan tenaga pendidik, sarana prasarana, dan kualitas pengajaran (Wahyuni & Rahayu, 2020). Konsekuensinya, siswa yang berdomisili di wilayah dengan infrastruktur pendidikan rendah memiliki kemungkinan kecil untuk memperoleh pendidikan berkualitas, memperbesar ketimpangan yang justru ingin diatasi oleh kebijakan zonasi itu sendiri. Ketimpangan ini memperjelas adanya ironi kebijakan yang baik secara konsep, namun lemah dalam implementasi.
Era digital menawarkan peluang untuk mengatasi keterbatasan fisik melalui pemanfaatan teknologi pendidikan. Platform daring, pembelajaran hybrid, serta konten digital berbasis kurikulum nasional memungkinkan siswa belajar tanpa bergantung penuh pada lokasi geografis. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa transformasi digital belum merata. Survei Kominfo (2023) mengungkapkan bahwa 43% rumah tangga di wilayah Indonesia timur belum memiliki akses internet yang stabil, sementara hanya 36% sekolah dasar di luarJawa yang memanfaatkan Learning Management System (LMS) secara efektif (Utami & Widodo, 2022). Ketidaksetaraan digital ini menciptakan "digital divide" yang memperparah ketimpangan akses pendidikan dasar dan membatasi manfaat teknologi hanya pada wilayah dan kelompok yang sudah memiliki privilese teknologi. Studi Yuliana (2021). Lebih lanjut menggaris bawahi ketimpangan distribusi sekolah unggulan di wilayah urban, tetapi mengabaikan ketimpangan akses internet dan ketersediaan perangkat digital sebagai faktor penentu baru dalam era digitalisasi pendidikan.
Di sisi lain, studi oleh Wibowo dan Prasetyo (2022) menyentuh isu ketimpangan digital, namun tidak mengaitkannya langsung dengan kebijakan zonasi. Sementara penelitian dari Dewi (2020) hanya menilai persepsi masyarakat terhadap zonasi tanpa menggali implikasi teknologinya. Dengan demikian, terdapat celah penelitian (research gap) yang signifikan, yakni kurangnya kajian interseksi antara kebijakan zonasi dan disparitas akses digital dalam konteks pendidikan dasar.
Di indonesia saat ini kesenjangan akses pendidikan menjadi hal yang paling banyak ditemukan dilapangan, kesenjangan akses ini meliputi akses internet,infrastruktur, dan yang paling utama adalah kompentensi guru tersebut. Banyak sekolah yang ada di indonesia secara infrastruktur memadai tetapi dari segi kompetensi guru kurang optimal, ini dikarenakan berbagai faktor yang saling berkaitan, mulai dari kelemahan seleksi dan pendidikan guru hingga kurangnya dukungan profesional berkelanjutan. kedua, kemampuan pedagogik guru sering terhambat oleh kurangnya pemahaman kurikulum baru, ketergantungan pada buku teks, penggunaan media pembelajaran yang minim, dan keterbatasan keterampilan ICT (teknologi informasi dan komunikasi).
Solusi untuk menanggapi hal hal tersebut bisa mulai mengatasi rendahnya kompetensi guru di Indonesia, diperlukan pendekatan sistemik yang menyentuh aspek rekrutmen, pendidikan, pengembangan profesional, dan kesejahteraan. Pertama, proses rekrutmen calon guru harus diperketat dengan menekankan kualitas akademik, integritas, dan motivasi mengajar. iperlukan penguatan budaya profesional di sekolah melalui kolaborasi, supervisi akademik yang konstruktif, dan dukungan kepala sekolah sebagai instructional leader. Guru perlu dibiasakan melakukan refleksi pembelajaran, penelitian tindakan kelas (PTK), serta berbagi praktik baik antar sejawat.
Transformasi pendidikan di era digital membawa harapan besar bagi terciptanya pemerataan mutu pendidikan nasional. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan akses terhadap teknologi, infrastruktur, serta kompetensi guru masih menjadi tantangan utama. Kesenjangan digital bukan hanya masalah teknis, tetapi juga sosial dan struktural yang menghambat prinsip keadilan pendidikan. Oleh karena itu, digitalisasi pendidikan harus dipandang sebagai sarana untuk memperluas kesempatan belajar, bukan memperlebar jarak antara yang mampu dan yang tertinggal.
Pemerintah perlu memperkuat pemerataan infrastruktur digital di daerah tertinggal. meningkatkan pelatihan literasi digital bagi guru dan siswa, serta memastikan kebijakan pendidikan berpihak pada kelompok yang paling rentan. Dunia pendidikan juga perlu membangun ekosistem pembelajaran yang adaptif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Sementara itu, masyarakat dan sektor swasta diharapkan berperan aktif dalam mendukung penyediaan fasilitas serta konten pembelajaran digital yang inklusif dan terjangkau.
Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bersinergi untuk mewujudkan cita-cita “pendidikan untuk semua.” Mari jadikan teknologi bukan sebagai pemisah, melainkan jembatan menuju masa depan pendidikan yang merata, berkeadilan, dan berdaya saing. Dengan komitmen bersama, setiap anak Indonesia dapat menikmati hak yang sama untuk belajar, berkembang, dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa di era digital.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI