Invasi Rusia terhadap Ukraina pada tahun 2022 menciptakan gelombang ketegangan global yang merambat hingga ke dunia sepak bola. Salah satu yang paling terdampak adalah Chelsea FC, klub elite Inggris yang saat itu dimiliki oleh oligarki Rusia, Roman Abramovich. Pemerintah Inggris menjatuhkan sanksi keras kepada Abramovich karena dianggap dekat dengan Presiden Vladimir Putin. Akibatnya, Chelsea menerima sanksi lanjutan berupa pembekuan aset, larangan menjual tiket, merchandise, serta pembatasan dalam aktivitas operasional klub.
Roman Abramovich, yang selama dua dekade menjadi arsitek kejayaan Chelsea, dipaksa menjual klub tersebut ke konsorsium asal Amerika Serikat dengan harga rekor 2,5 miliar (sekitar $3,2 miliar). Ironisnya, hingga kini dana hasil penjualan tersebut masih dibekukan karena perdebatan politik terkait penyaluran bantuan kemanusiaan ke Ukraina. Hal ini menunjukkan betapa dalam dan panjang dampak sanksi geopolitik terhadap dunia olahraga, bahkan ketika komitmen bantuan sudah diumumkan secara terbuka.
Yang menjadi sorotan tajam publik adalah kecepatan FIFA dan UEFA dalam menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dan entitas olahraganya. Hanya beberapa hari setelah invasi dimulai, klub dan tim nasional Rusia dilarang berpartisipasi dalam seluruh kompetisi internasional. Dalam pernyataannya, FIFA menyebut bahwa dunia sepak bola "bersatu dan sepenuhnya solidaritas terhadap Ukraina." Namun, respons yang sama tidak berlaku terhadap Israel.
Israel, yang secara konsisten terlibat dalam agresi militer terhadap Palestina dan telah menyebabkan ribuan korban jiwa serta kehancuran infrastruktur, tidak pernah mendapatkan sanksi olahraga dari FIFA maupun UEFA. Padahal, berbagai organisasi hak asasi manusia seperti Fair Square dan Human Rights Watch menilai tindakan Israel sebagai pelanggaran terbuka terhadap Statuta FIFA. Di sisi lain, sekitar 700 atlet Palestina tewas dan lebih dari 270 fasilitas olahraga hancur selama konflik Gaza, menunjukkan dampak nyata terhadap dunia olahraga yang seharusnya tidak bisa diabaikan.
FIFA berdalih netralitas sebagai alasan. Pada Oktober 2017, mereka menyatakan bahwa konflik Israel-Palestina "tidak ada hubungannya dengan sepak bola" dan terlalu "kompleks dan sensitif" untuk ditangani oleh FIFA secara sepihak. Namun, ini jelas kontras dengan tindakan mereka terhadap Rusia yang justru bertolak belakang dari prinsip non-politik itu sendiri. Pasal 4 (2) Statuta FIFA memang menjelaskan bahwa netralitas bersifat konstitusional, namun membuka ruang pengecualian bila ada ancaman terhadap tujuan statutori FIFA. Maka pertanyaannya: mengapa prinsip ini diterapkan keras terhadap Rusia, tapi tidak terhadap Israel?
Tekanan politik global tampaknya memainkan peran besar. FIFA dan UEFA tunduk pada yurisdiksi hukum Uni Eropa, termasuk Pasal 12 TFEU yang melarang diskriminasi atas dasar kebangsaan. Ditambah lagi, Israel mendapat dukungan kuat dari beberapa negara dominan. Maka, FIFA dan UEFA cenderung bersikap selektif dalam menegakkan prinsip keadilan dan netralitas.
Publik sepak bola global, akademisi, dan organisasi kemanusiaan mulai menyuarakan keresahan atas apa yang mereka anggap sebagai standar ganda. Jika Abramovich harus disanksi hanya karena kewarganegaraannya, dan Chelsea menjadi korban atas afiliasi yang tidak langsung, maka mengapa pelanggaran hak asasi manusia yang nyata dan sistematis tidak menimbulkan konsekuensi yang sama terhadap Israel?
Kasus Chelsea adalah contoh nyata bagaimana sepak bola telah menjadi medan tarik ulur geopolitik. Lebih jauh lagi, ini menjadi pengingat bahwa jika FIFA dan UEFA ingin menjaga reputasinya sebagai lembaga netral dan universal, maka penegakan hukum dan nilai-nilai haruslah dilakukan secara konsisten bukan sekadar menyesuaikan arah angin politik global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI