Sejak republik ini berdiri, para founding father Indonesia telah memastikan tidak akan memihak pada kekuatan tertentu dalam menjalankan politik luar negerinya. Politik yang dinamakan dengan istilah "bebas aktif" ini sebagai penegasan bahwa Indonesia akan selalu terlibat dalam berbagai bidang demi terwujudnya perdamaian dunia.
Dalam penerapannya, politik bebas aktif tak lepas dari partisipasi Indonesia, melalui pemerintah dalam tiap momen pertemuan pemimpin dunia. Lalu, bagaimana dengan Presiden Joko Widodo?
Setahun usai memegang tampuk pimpinan, Presiden Jokowi absen dalam pertemuan Asia-Pacific Economic Leader (APEC) Forum di Manila 2015.
Saat itu, Presiden Jokowi memilih untuk berada di Indonesia untuk menyelesaikan urusan domestik, yakni persoalan kabut asap. Meski sebagai pimpinan negara, Presiden Jokowi tentu bisa memantau penyelesaian masalah kabut asap oleh kementerian atau lembaga terkait.
Padahal saat itu, isu yang hendak diusung Indonesia ialah kelapa sawit, kerja sama infrastruktur dan kerja sama bidang maritim.
Isu kelapa sawit sangat penting karena terkait komoditas andalan di Indonesia namun terbentur bayang-bayang penolakan di negara-negara barat.
Sementara di sektor infrastruktur, juga penting karena pemerintah tengah menggalakkan pembangunan yang sedemikian massif di sektor ini.
Kemudian di bidang maritim, sejalan dengan visi maritim Jokowi. Terlebih di sektor ini masih terdapat potensi konflik di Laut Cina Selatan.
Namun, Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri Perdagang, menjadi wakil Indonesia. (Sumber)
Kembali terjadi
Absennya Presiden Jokowi di pertemuan pemimpin dunia juga dilakukan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 akhir tahun 2018 lalu. Sebagai gantinya, Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menghadiri pertemuan yang berlangsung di Buenos Aires, Argentina, tersebut. (Sumber)