Pemerintah tengah dalam sorotan utama karena berbagai macam keteledoran serta keterlambatannya dalam menghadapi COVID-19 atau biasa disebut Virus Corona. Pemerintah terkesan gagap dan tidak siap dari berbagai sisi untuk menghadapi pandemi global ini. Diawali dengan ungkapan Menteri Kesehatan, dr Terawan yang terkesan meremehkan virus COVID-19 ini serta berbagai celetukan anggota kabinet dan pejabat teras lainnya, lalu sampai dengan proses tracing dan penanggulangan di lapangan para korban corona ini.
Benar memang virus ini dapat disembuhkan dengan sistem imun tubuh kita sendiri, namun apakah dapat menjamin bahwa masyarakat kita dengan baik dapat menerapkan pola hidup sehat dengan asupan gizi maksimal jika hal ini terjadi pada mereka. Bagaimana dengan nasib mereka yang memiliki kendala akses kesehatan serta kondisi ekonomi dan lingkungan yang mengkhawatirkan? Sebut saja masyarakat ekonomi lemah yang jangankan untuk menjangkau masker dan hand sanitizer yang semakin langka dengan harga yang berlipat-lipat, untuk makan sehari-haripun mereka sulit.
Bagaimana dengan kesiapan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan kita? Apakah cukup dan siap untuk menangani ini semua? Faktanya sudah ada tenaga medis yang meninggal dan tertular virus corona.Â
Seiring waktu juga banyak ditemukan penolakan dari rumah sakit-rumah sakit rujukan khusus corona ataupun kesimpangsiuran prosedur pemeriksaan bagi masyarakat yang secara sukarela ataupun terpaksa yang memiliki kontak atau tidak langsung serta memiliki gejala-gejala terserang virus corona. Jangan sampai kasus seperti di Italia terjadi di Indonesia, kapasitas rumah sakit sudah tidak mampu lagi menampung para pasien, bahkan tenaga medis pun kekurangan.
Tes masif terhadap COVID-19 ini adalah sesuatu yang krusial yang perlu dilakukan untuk memetakan serta membuat strategi penanggulangan oleh pemerintah.Â
Kita bisa lihat Korea Selatan dan Singapura serta Jepang yang dengan sigap melakukan tes kepada warganya tanpa biaya dan hasil dapat didapat hanya dalam hitungan jam bahkan.
Lalu, bagaimana dengan strategi pemerintah secara jelas dan terkoordinasi antara pusat dan daerah dilakukan? Bagaimana dengan transparansi informasi yang diberikan? Banyak kepala daerah yang memiliki kebijakan yang justru tidak kompak dengan Kementerian Kesehatan maupun presiden serta jajarannya. Contohnya saja seperti Gubernur Banten yang akhirnya mengungkapkan bahwa sudah ada dua warganya positif corona, namun hal tersebut tidak diaminkan oleh kementerian kesehatan bahkan sampai menanyakan data yang didapat oleh gubernur tersebut. Kementerian Kesehatan pun bersama Presiden terkesan menutup-nutupi wilayah sebaran orang yang positif Corona, Orang Dalam Pengawasan (ODP) maupun Pasien Dalam Pengawasan (PDP).Â
Di sisi lain, setidaknya Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jawa Barat membuka data sebaran orang-orang tersebut melalui media massa serta aplikasi yang mereka buat dan dapat dipantau secara real time perkembangannya. Padahal jika kita kaji informasi tersebut menjadi krusial bagi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan dan melakukan social distancing serta menghindari daerah-daerah yang diduga menjadi sebaran virus corona.Â
Belum lagi dari sisi koordinasi dengan para pakar terkait hal ini, sebut saja Ikatan Dokter Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, para pakar bidang kesehatan serta epidimolog yang belakangan menyatakan mereka tidak dilibatkan dalam penyusunan grand strategy ataupun kebijakan dalam penanggulangan pandemi global COVID-19 ini.
Hasilnya sekarang rasio kematian kasus COVID-19 di Indonesia menjadi nomor 2 di dunia setelah Italia per data 16 Maret 2020. Sebarannya pun sudah semakin meluas ke berbagai kota, bahkan orang dalam ring 1 presiden yaitu Menteri Perhubungan pun dinyatakan positif menjaid penderita COVID-19 padahal beberapa saat sebelumnya dia ikut serta dalam kegiatan dan rapat yang dilakukan oleh para menteri dan presiden.