Mohon tunggu...
Farida Chandra
Farida Chandra Mohon Tunggu... -

praktisi, pemerhati hukum ketenagakerjaan budidaya ikan lele dan pisang kepok pelestari dan usaha batik tulis madura

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Kerakyatan Menurut Tukang Sayur

6 Juni 2014   18:40 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:00 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Anda masih ingat, ketika ARB bertemu Jokowi di Pasar Gembrong malam-malam? Kata ARB, intinya : ‘mengapa kami bertemu di sini? Karena di sinilah adanya ekonomi kerakyatan.’

Setelah itu, ke pasar-pasar mana lagi ARB meneruskan kunjungannya demi ekonomi kerakyatan? “Wandaaa”…alias wah – ndak – tahuuu… mungkin sering pergi ke pasar seperti si sarimin tapi tidak terekspose wartawan atau memang tidak pernah pergi lagi karena tidak habit-nya blusukan ke pasar.

Tadi pagi saya belanja di tukang sayur. Seperti biasa saya suka iseng sama orang pasar, pun tukang sayur. Namanya Mas Hernowo.

‘Mas, sampeyan nyoblos capres nanti?’

“nggih bu, mosok ga nyoblos”

‘lhah, nyoblos ga nyoblos nasib tetep tukang sayur ae mas’

“sanes bu, sakniki kulo nggawe sepeda motor, lek nyoblos Jokowi, insya Allah nggawe montor pick-up”

Wah, cerdas! Business-man ya harus optimis! Sudah tegas menentukan pilihan.

Tapi ketika saya tanya, ‘mas ayam potong sekilo piro?”

’30 ribu bu’

“larang tenan mas, biasa 23-27ribu”

‘lhah kulakane nggih mundak bu, telor ayam nggih mundak dadi 18ribu/kilo’

“eh tak kandani Mas. Dodolan sampeyan iku kadang luwih larang timbangane Giant (depan tempat tinggal saya). Giant iku 1 ikat sayur bayam, sayur kangkung, cuma 500. Sampeyan 1.000.”

‘sakjane niku Giant sing keliru mbandrol harga bu, kudune 2-3x lipat harga kulo ben kulo saget dodolan lancar terus…’

Wah, jawaban itu yang saya tunggu. Itulah yang menurut saya suara asli tanpa dubbing tanpa rekayasa. Itulah ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya, hasilnya bisa langsung mensejahterakan rakyat kecil.

Ga perlu ruwet-ruwet menyusun kata dan kalimat buat setor visi-misi ke KPU. Rakyat ga ngerti bagaimana implementasinya koq. Yang mereka tahu, kenyataannya capres yang teriak ekonomi kerakyatan itu naik kuda, entah kuda dari peternakan di Bima sana atau bukan, yang kelas harganya aduhai 3 milyar. Naik lexus juga pakai milyar.

Bagaimana juga cawapres yang naik bus mewah dilengkapi minibar dan 2 tempat tidur seharga 1 milyar ketika kampanye itu bisa meyakinkan rakyat bisa sejahtera kalau pilih beliau.

Bukannya naik bus umum seperti Jokowi yang pilih naik bus umum dari bandara Juanda menuju Lumpur Lapindo Sidoarjo.

Bagaimana rakyat seperti Mas Hernowo tukang sayur, kalau katanya visi-misinya prioritas pada alokasi anggaran untuk program pertanian dan perikanan tapi yang dagang nanti tetap pasar modern dan bukan tukang sayur atau pasar tradisional yang jadi berkecukupan, setidaknya bisa punya sekedar rumah petak?

Lalu kalau prioritas penyaluran kredit bank bagi pedagang tradisional, misal mimpi si tukang sayur itu pengen ganti motor dengan pick up, apa yang dipakai jaminan ke bank? Rumah tak punya. Lokasi usaha tetap pun juga tak ada, wong tukang harus harus keliling-keliling. Dan harus iap hari keliling tanpa ada hari libur.

Kalau hari libur kalender cuma sabtu/minggu dan nyonya rumah ingin memasak, maka dagangannya bisa laku keras. Tapi kalau libur kejepit seperti akhir Mei lalu? Mas Hernowo bisa nangis, sodara-sodara! Dagangan tak laku, terbuang, basi, layu dan tak punya kulkas. Sama sekali. Yang 1 pintu saja ga punya, apalagi 2 pintu atau 3 pintu.

Mikiiiirrr…salam lemper-nya Cak Lontong

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun