Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dilema Pemilik Kos Bukan Warga Asli dengan Anak Kos "Nakal" Warga Asli

21 September 2021   22:09 Diperbarui: 21 September 2021   22:53 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil dari Kompas.Com

"..Ketika ketegasan berbenturan dengan toleransi sosial  dan kepentingan bisnis.." 

Seorang ibu kos berkeluh kemarin malam. Dibilang curhat mungkin iyaa. Entah mengapa obrolan berawal dari sekedar mampir dan tanya kabar melebar ke pernak pernik mengelola kamar kos. 

" Mas kan tau, ibu dan bapak sudah sekian tahun jadi nasabah dan punya usaha ini. Tapi kok akhir akhir malah kepala ibu cenat-cenut," katanya. 

" Lho, ibu dan bapak kan dah lunas lama cicilan nya. Ngapain dipikirin. Udah ngga beban lagi kan," kataku sambil menyesap teh hangat yang disajikan.

" Bukan itu, ini soal mereka yang ngekos di sini. Ibu bingung harus gimana. Mau tegas ndak enak, mau ngga dibilangin malah bikin ndak nyaman. Kepalaku sumpek," tutur nya sembari garuk-garuk kepala.

Apa gerangan yang terjadi, penasaran aku. Akhirnya meluncur tipis-tipis apa yang bikin gundah gulana. Ada satu dua anak kos yang ngekos di usaha kosan miliknya bertabiat kurang baik. 

Mulai dari keseringan menunggak berbulan-bulab, bertingkah semau gue hingga keseringan maaf,  berbuat mesum dengan tamu yang tak ada ikatan sah. Pada saat diingatkan, balasan nya malah bikin ndak enak hati. 

" Anda kan bukan (penduduk) asli sini, pendatang di daerah orang, harusnya lebih "lembut" sama warga lokal," demikian jawaban yang pernah diterima dari salah satu anak kosan. 

Entah makna kata lembut itu apakah berarti harus bersabar lebih lama menanti pembayaran kosan atau mungkin lebih kendor dalam hal teguran dan batasan. 

Justru ucapan seperti itu yang mampir ke telinga mantan nasabah ini terasa bukan seperti angin sepoi sepoi tapi puting beliung. Seketika mengurungkan semangat nya untuk menegur. Malah jadi serba salah. Lebih menghindari konflik. 

Saya tidak tau apakah banyak pemilik kosan yang mungkin sama dengan beliau,  yang dulunya perantau bertahun-tahun ke sebuah daerah lalu beranak pinak dan berbisnis jasa penginapam. 

Poin nya mungkin bukan pada siapa pemilik kosan atau darimana berasal, mau dalam negeri atau bisa saja investor dari luar, tapi pada perilaku si penyewa. 

Tak bisa juga dijeneralisir bahwa semua penyewa kosan yang merupakan warga asli seperti itu. Karena tabiat, pola pikir dan luapan perkataan yang berpotensi mencederai kebhinekaan kembali ke tanggung jawab dan kontrol masing -masing orang. 

Rambut boleh sama hitam tapi isi  kepala berbeda. Rambut juga bisa sama sama lurus atau sama -sama keriting, tapi belum tentu sama yang keluar lewat ucapan dan perilaku. 

Seyogyanya tidaklah bijak berkata seperti itu. Apalagi wilayah NKRI adalah rumah kita bersama dimana saudara sebangsa bisa melakukan migrasi ke barar,ke timur, ke utara atau ke selatan. 

Toh tak menutup kemungkjnan bahwa warga dari satu daerah juga bisa ada di daerah lain meski bukan warga asli. 

Pola pikir kedaerahan janganlah dijadikan tameng untuk menghindari tanggung jawab dan pembiaran terhadap norma sosial. 

Semoga yang baik dan benar tetaplah baik dan benar. 

Salam, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun