Maksudnya baik, namun ada resiko yang mengintai
Aspek Collateral dikenal sebagai istilah dalam pembiayaan. Kata ini amat akrab bila bekerja di sektor jasa keuangan yang bidang kerjanya memberi kredit ke nasabah.Â
Dalam pengertian sehari-hari, sederhananya collateral itu agunan. Sesuatu yang jadi jaminan. Diserahkan secara sadar pada saat calon nasabah hendak mengajukan pinjaman.Â
Bentuk dan rupa agunan bermacam. Bisa BPKB beserta kendaraannya, SHM (Sertifikat Hak Milik) bangunan dan tanah, emas, serta lain sebagainya.Â
Pertimbangannya, bila macet kreditnya, sejumlah agunan ini bisa segera diuangkan untuk menutupi besaran dana yang terpinjam.Â
Namun bila mengamati di masyarakat, sistem ini juga diterapkan oleh tak sedikit warga, terutama antar perorangan.Â
Bedanya bukan membawa agunan mereka ke bank, koperasi, atau lembaga formal yang secara resmi mendapat legalitas untuk mengelola pinjaman, tapi warga menitipkan pada warga lain yang hendak dipinjam uangnya.Â
Salah seorang nasabah saya berkisah, soal uang 20 juta rupiah miliknya yang dipinjam salah seorang temannya belum dikembalikan juga.Â
Padahal sudah lewat 3 tahunan dari janjinya cuma sebulanan akan balik.Â
"Dia nitip sertifikat tanahnya. Lha saya bingung, mau diapain itu titipannya. Jual tanah kan ndak gampang kayak jual pisang goreng," keluhnya ketika saya mampir ke rumahnya.
Diambilnya sertifikat tersebut lalu ditunjukan. Raut wajahnya nampak kesal.Â
Dia jelas menginginkan uangnya balik dibanding terus memegang agunan itu sekian tahun. Mana yang punya agunan lebih sering ngasih alasan dengan jawaban: ntar ya, kan uda ada jaminannya di situ.Â