Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ade Pis Sing Ade Dagang, Ade Dagang Sing Ade Pis

4 April 2020   20:28 Diperbarui: 5 April 2020   19:20 2233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri_sepi_dagang martabak dan pisang goreng malaysia di sudut Kota Sumbawa

Just Sharing....

Judul di atas adalah ungkapan yang cukup populer di kalangan ibu -ibu pedagang kaki lima di Bali. Teringat saat kuliah dulu, ibu kos sering mengatakan itu. Beliau bercanda terhadap para mahasiswa yang menempati delapan kamar miliknya. Saya memanggilnya Meme. Dalam bahasa Bali artinya Ibu.

Meme dan Bapak beserta anak-anaknya mengelola usaha kost di kawasan Bukit Jimbaran. Tepat 200 meter di samping Patung GWK (Garuda Wisnu Kencana), yang kini berdiri megah.

Di akhir 90 an belum dibangun seluruhnya. Saya dan beberapa teman seangkatan baru yang berasal dari Pulau Jawa,  kadang menghabiskan waktu sore hari bermain bola di lahan kosong di sekitaran situ. Tak jauh dari kampus Unud. 

Ada uang tapi tak ada yang jualan. Ada yang jualan tapi tak punya uang untuk beli. Demikian artinya secara sederhana. Kantong mahasiswa rantau yang terisi saat ada kiriman di awal bulan menyesuaikan dengan ritme transaksi di warung sederhana milik Meme. Tanggal mudah lancar, tanggal tua seret. Hehe...

Beruntung pemiliknya berbaik hati. Sudah dianggap sebagai anak sendiri. Di kawasan yang dulunya tandus dan kering itu, banyak kios kelontong milik warga lokal seperti halnya milik Meme. Menyatu dengan lahan bangunan kos-kosan dan rumah pemiliknya. 

Simbiosis Usaha Mikro dan Konsumen

Entah mengapa adagium itu terasa pas dengan kondisi terkini. Konsumen di satu sisi,meski punya dana, namun hasrat tuk berbelanja dibatasi. Pembatasan lewat jam keluar dan jam mobilitas dalam bentuk aturan WFH (work from home) dan SAH (stay at home).

Rasa takut terhadap paparan corona jauh lebih kuat menahan niat beli ini atau beli itu. Solusinya lewat layanan online, namun pilihan tak banyak. Bertahan 14 hari hingga 28 hari dalam rumahku istanaku dengan menu pesan antar yang" itu - itu saja' kadang muncul niat kepengen nyoba yang lain.Manusiawi ya#

Ironisnya, kedai kuliner, gerai busana, jajanan pinggir jalan hingga wahana permainan anak -anak, yang biasanya menjadi favorit dan kesukaan warga,  sudah tak lagi buka. Para pelaku usaha mikro dan kecil itu seakan -akan menutup layar cintanya dengan pelanggan.

Ada corona diantara kita. Ada surat edaran dan himbauan dari pemerintah untuk 'putus' sementara. Kendati pelaku UMKM merindukan rupiah dari konsumen. Kangen ditungguin dan dikejar - kejar pembeli tuk memuaskan hasrat belanja. Berasa ngga sih...hehe#

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun