Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warung Kopi, Antara Pelari dan Emak Kepo

31 Juli 2019   14:29 Diperbarui: 26 April 2020   19:22 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kumparan Sains

Tahun berganti dan dasawarsa berlalu,kebiasaan minum kopi 'seolah-olah' diwariskan dari generasi ke generasi. Bersamanya pun beraneka kisah dan inspirasi dibaliknya. Mulai dari percakapan dengan penjual kopi, ide yang muncul di pikiran saat menyesap aroma seduhannnya dan tulisan-tulisan yang mengalir spontan kala ditemani secangkir kopi.Sengaja saya menuliskannya agar bisa mengenangnya kembali.

Kopi ini pahit namun lebih pahit target pekerjaan di seberang sana.  Sudahlah barangkali dengan sedikit menuangkan gula, rasa pahitnya bisa berkurang. Kusesap rasanya, hmmm...lumayan sedikit manis. Tapi ngga semanis ucapan di WAG kantor. Dikejar, disesah,  dipukul bak alat tradisional gendang beleq. Ah kita seakan-akan pelari yang berlarian dalam lintasan yang tak berakhir.

Ini bukan lari  jarak pendek. Tidak juga berlari empat ratus meter  dua lintasan. Ini adalah lari marathon. Yang unggul hari ini tidaklah selalu unggul di bulan depan. Yang Berjaya pada lintasan di lintasannya, belum tentu berjaya di lintasan yang berbeda. Ah, aku jadi ingat Lalu Muhammad Zohri , pemuda dari Tanah Lombok.

Sprinter andalan Indonesia itu namanya mengaung di seantero nusantara berkat kaki-kaki kecilnya. Iya, dia tidak tinggi karena tinggi fisik bukanlah jaminan unggul. Juga badannya tidaklah gemuk. Bila gemuk, bagaimana bisa berlari cepat.

Saya menyengir. Menyeruput sisa kopi hitam di gelas kaca. Orang gemuk bisa berlari,tapi bukan berlari dalam lintasan perlombaan. Lantas lari kemana? Bisa jadi lari dari kenyataan...hehe

Kita tertawa mendengar ungkapan lari dari kenyataan. Tanpa kita sadari banyak orang melakoni itu dalam hidupnya. Mereka berlari mengejar pencapaian-pencapaiannya untuk nanti  membandingkan dengan hidup orang  lain. Apa yang mereka kejar? Bisa jadi status sosial, karir, gengsi, jabatan dan pencapaian pribadi lainnya. 

Tidaklah salah mengembangkan potensi yang diititipkan Sang Kuasa. Namun bila tujuannya adalah untuk menaikkan level self esteem dan membungkusnya dengan kesombongan,bukankah itu menunjukkan ada yang salah di jiwa kita.

Hey...hidup bukan sebuah perbandingan. Hidup adalah lintasan dari pemilik kehidupan. Engkau tidak harus berlari di lintasan saya. Dan sayapun tidak menyimpang ke lintasanmu. Bila masing-masing kita punya lintasan sendiri,untuk apa kita berlari dari kenyataan? Saya menyesap kopi hitam itu sekali

"Mas nya kerja di situ?" terdengar suara di samping, Wanita paruh baya pemilik warung yang satu jam lalu menyuguhkan kopi itu melontarkan pertanyaan.

Pertanyaan yang sekedar basa-basi.Maksudnya tanpa beliau bertanya pun, seharusnya dia sudah mengenali dari seragam yang saya kenakan. Tapi sudahlah, kualat kata orang tua. Pertanyaan dari orang yang lebih tua semestinya direspon.

" Iya Bu," jawab saya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun