Setelah menyaksikan Debat Pemilihan Presiden Tahun 2019 tahap kedua di Hotel Sultan, Jakarta, pada hari Minggu, tanggal 17 Februari 2019 yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi nasional, patut kiranya dipertanyakan, masih urgent atau masih perlukah debat capres dilakukan lagi?
Sebagaimana yang kita saksikan bersama, debat dengan tema energi dan pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastruktur berlangsung tidak sesuai dengan yang diharapkan.Â
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS, Penulis dilarang untuk mendukung secara terang-terangan apalagi berkampanye untuk salah satu capres, namun secara obyektif, Penulis menilai debat capres di malam itu sangat tidak berimbang atau berat-sebelah.Â
Kita bisa melihat bagaimana Presiden Jokowi selaku petahana sangat memahami substansi permasalahan, beliau mampu memberikan gagasan-gagasan yang lebih otentik, sebaliknya Pak Prabowo selaku penantang tidak begitu memahami subtansi permasalahan dan lebih banyak menyampaikan hal-hal yang normatif dan bersifat umum.Â
Hal itu bisa terjadi karena latar belakang personal dan pengalaman keduanya memang berbeda. Presiden Jokowi, selain merupakan petahana, sebelumnya juga sudah memiliki pengalaman yang komplit di birokrasi pemerintahan, baik sebagai gubernur maupun walikota, sebaliknya Pak Prabowo hanya memiliki pengalaman sebagai pejabat militer dan ketua partai.Â
Secara tidak langsung, tim sukses dan pendukung fanatik Pak Prabowo pun mengakui kemenangan Presiden Jokowi dalam debat itu. Hal itu bisa kita cermati dari komentar-komentar mereka yang tidak membahas masalah substansi debat, namun lebih banyak menyemburkan tudingan-tudingan yang absurd, antara lain menuding Presiden Jokowi menggunakan alat bantu komunikasi, Presiden Jokowi menyerang pribadi Pak Prabowo mengenai kepemilikan lahan seluas 340.000 hektar, dan sebagainya.
Ketidakseimbangan dalam debat tersebut sebenarnya bisa dimanimilisir, jika Pak Prabowo didukung oleh tim sukses yang kuat dan solid. Tim Sukses beliau semestinya sudah mengantisipasi itu dengan melakukan persiapan yang lebih matang.Â
Orang-orang yang berpengalaman di birokrasi di dalam tim sukses beliau, semestinya bisa memberikan kisi-kisi yang bisa digunakan oleh beliau dalam debat, namun entah karena sebab apa hal itu tidak terjadi.
Selain hal tersebut, Penulis juga melihat fakta bahwa debat capres ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap pemilih, dimana para pendukung kedua capres sudah mantap dengan pilihannya masing-masing. Debat capres hanya menjadi ajang untuk menyalurkan adrenalin para pendukung fanatik kedua kubu capres.Â
Ibarat dalam pertandingan sepakbola, para suporter fanatik tidak akan peduli lagi seperti apa cara bermain tim kesayangannya, mau timnya bermain sportif atau curang, mau timnya menang atau kalah, mereka akan tetap mendukung habis-habisan. Jika timnya menang, mereka akan berpesta dan mengolok-olok lawannya, sebaliknya jika timnya kalah, mereka akan tetap membela dan menuding tim lawan berbuat curang atau wasitnya tidak adil.Â
Akibatnya bentrok antar suporter sangat mungkin terjadi di dalam dan di luar arena. Bagaimana dengan swing voters atau yang belum menentukan pilihan? Dengan hasil survey yang menunjukkan masih adanya selisih hingga 20%, debat tersebut juga tidak akan terlalu signifikan karena diantara para swing voters, kecenderungannya yang memilih Jokowi dan Prabowo akan berimbang, apalagi bagi mereka yang sudah apatis dan sudah menentukan pilihan untuk tidak memilih.