Kota di pesisir pantai yang ada di hadapan saya itu adalah Tel Aviv, kota terbesar dan paling maju di Israel. Kota itu yang hingga kini diakui PBB dan negara-negara lain sebagai ibukota Israel, meskipun Pemerintah Israel kini berada di Yerusalem dan Donald Trump telah memindahkan kedutaan besar Amerika Serikat ke Yerusalem.Â
Israel ngotot menjadikan Yerusalem sebagai ibukotanya, selain karena alasan historis dan politis, mungkin juga karena mereka merasa kota Tel Aviv itu kurang aman karena letaknya di pesisir laut Mediterania, mudah di gempur dari laut dan tidak aman dari terjangan tsunami. Kota itu juga bisa dipantau dari Jaffa, tempat saya berdiri ini. Jaffa adalah kota tua yang didiami oleh warga Arab, namun kini dikuasai penuh oleh Israel dan secara administrasi menyatu dalam kota Tel Aviv-Yafo.
Saya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman saya ketika tiba di kota ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia yang mendukung kemerdekaan Palestina tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.Â
Sebagai warga negara Indonesia tentu saya tidak pernah berpikir untuk berkunjung ke Israel, apalagi ke Tel Aviv, ibukotanya Israel yang diakui oleh PBB. Namun ternyata takdir Tuhan berkata lain, tujuan saya adalah berkunjung ke Masjid al-Aqsho yang berada di Yerusalem, namun melalui penerbangan dari Istanbul ke Tel Aviv. Â Â Â
Sebenarnya, rencana awal, kami bermaksud ke Yerusalem melalui penerbangan dari Jakarta ke Amman, Yordania, lalu ke Yerusalem dengan perjalanan darat melewati perbatasan di Allenby Bridge.Â
Lazimnya memang orang Indonesia yang ingin berkunjung ke Palestina, baik yang muslim maupun nasrani, akan masuk melalui jalur darat di perbatasan Allenby Bridge, Yordania atau Taba di Mesir, namun kami mencoba melalui rute yang tidak biasa, yaitu langsung masuk melalui bandara yang pemeriksaannya sangat ketat, yaitu Bandara Internasional Ben-Gurion di Tel Aviv.
Oleh karena Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, maka tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta, namun harus transit di bandara milik negara sahabatnya Israel, yaitu Turki. Jadilah kami harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Kami berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta jam 9 malam, setelah terbang selama 11 jam, kami baru tiba di Bandara Internasional Attaturk di Istanbul jam 4 subuh waktu setempat.
Setelah shalat subuh, kami keliling Istanbul dulu hingga siang, lalu kembali ke bandara. Malamnya baru kami melanjutkan penerbangan dari kota Istanbul yang berada di benua Eropa itu ke Tel Aviv, Israel.Â
Setibanya di bandara itu, rombongan kami tertahan selama 5 jam lebih karena ada beberapa orang, termasuk saya, yang mengalami masalah di imigrasi Israel.Â
Paspor saya ditahan oleh petugas imigrasi Israel dengan alasan masih ada informasi yang perlu dikonfirmasi. Saya dan dua orang lainnya disuruh menunggu di ruang tunggu bersama belasan penumpang dari negara lain yang berwajah Arab. Saya tidak pernah menduga hal ini akan terjadi karena sebelum berangkat, kami sudah menerima visa dari otoritas Israel, jadi logikanya kami sudah lolos screening untuk masuk ke Israel.